Selasa, 22 Maret 2011

Sumber Dan Dasar Hukum Islam (2)

Dasar Hukum yang Tidak Disepakati

1. Istihsan

secara bahasa, istihsan berarti “menganggap sesuatu baik dan layak dilakukan”. Sedangkan menurut istilah Istihsan ialah: “Memakai qiyas khofi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu”. Atau “Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk”.
Dengan demikian, istihsan adalah memilih yang paling baik dengan meninggalkan “qiyas jali” (analogi yang jelas dan pasti) karena lebih sesuai dan lebih patut bagi kebaikan manusia.
Kerangka teori ini dikembangkan dan dibangun oleh Abu Hanifah (w. 767 M) dan diteruskan oleh pendukungnya (madzhab Hanafiyah). Sedang-kan menurut fiqih Malikiyah memberi penjelasan, Istihsan diperbolehkan dengan alasan kebaikan/kemanfaatan dan karena menghilangkan kesulitan. Kedua mazhab ini (Hanafiyah dan Malikiyah) banyak membicarakan “pilihan yang patut” (Istihsan). Dengan demikian, Istihsan yang dikemukakan mazhab Malikiyah ini hampir-hampir tidak memiliki perbedaan prinsipil dengan Hanafiyah.


Macam Istihsan

1. Istihsan Qiyasi: pada prinsip awalnya, seorang mujtahid harus mendahulukan qiyas jali dibanding dengan qiyas khofi. Namun bilamana seorang mujtahid memandang bahwa meninggalkan qiyas jali lebih besar kemaslahatannya dibanding menggunakannya, maka qiyas jali tersebut boleh ditinggalkan dan beralih ke istihsan. Contoh: menurut kesimpulan qiyas jali, sumur yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut diwakafkan kecuali jika ditegaskan didalam akad wakaf. Hal ini di qiyaskan (dianalogikan) dengan akad jual beli, dengan persamaan illat “sama-sama menghilangkan hak milik”. Di dalam jual beli, sumur tersebut tidak termasuk yang dijual terkecuali ditegaskan dalam akad. Namun berdasarkan istihsan yang berorientasi pada kemaslahatan, sumur tersebut termasuk barang yang diwakafkan, tanpa harus dipertegas di dalam akad. Karena diqiyaskan dengan sewa menyewa dengan persamaan illat “sama-sama untuk diambil manfaatnya”. Oleh karena kemaslahatan dari qiyas yang disebut terakhir ini lebih menonjol, yakni sesuai dengan disyariatkannya wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya, maka lebih patut jika meninggalkan qiyas jali dan menggunakan qiyas khofi (istihsan).

2. Istihsan Istisna’i: memilih yang patut (baik) dan terolong perkecualian. Istihsan ini terbagi menjadi 4 macam:

a. Istihsan berdasarkan Nash. Yaitu istihsan oleh karena hukum pengecualian yang didasarkan pada nash dan meningalkan kaidah yang bersifat umum. Contoh: menurut kadiah umum, makan di siang bulan romadlon puasanya batal. Namun jika itu dilakukan karena lupa, maka berlandaskan istihsan, puasanya sah. Istihsan ini telah ditegaskan di dalam Hadis Nabi

b. Istihsan berlandaskan ijma’. Contoh: pesanan untuk membuat lemari. Menurut kaidah umum praktik seperti ini dilarang, sebab pada saat akad jual beli barang tidak ada. Padahal salah satu dari rukun jual beli adalah harus ada barang. Memperjual belikan barang yang belum ada termasuk bai’ul ghurur (jual beli yang dapat menipu) yang dilarang oleh Nabi. Namun hal ini diperbolehkan, dengan alasan istihsan. Akad ini boleh dan telah menjadi ijma’ di kalangan ulama.

c. Istihsan berlandaskan urf (adat kebiasaan). Contoh: menurut ketentuan umum, wakaf hanya diperbolehkan pada harta benda yang kekal dan tidak bergerak, seperti tanah. Namun wakaf pada benda yang tidak kekal dan bergerak, seperti buku, kendaraan, perkakas memasak dll diperbolehkan untuk diwakafkan dengan alas an istihsan. Dasarnya adalah adat kebiasaan masyarakat yang membolehkan wakaf pada benda tersebut.

d. Istihsan berlandaskan kemaslahatan. Contoh: menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah kontrakan tidak dibebankan suatu apapun kecuali membayar uang kontrak yang telah disepakati. Namun pemilik rumah diperbolehkan meminta tambahan berupa uang jaminan, dengan perjanjian jika terdapat terjadi kerusakan yang disebabkan oleh ulah penyewa maka akan dipotongkan dari uang tersebut . praktek semacam ini diperbolehkan dengan alasan istihsan yang berlandaskan kemaslahatan. Sebab jika tidak ada uang jaminan dikhawatirkan penyewa akan bertindak serampangan dan tidak mau bertanggung jawab.

Ulama yang tidak menerima istihsan sebagai dasar hukum islam adalah Imam Syafi’i (w. 820 M). Ia mengatakan bahwa: barang siapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat hukum syariat baru dengan menggunakan hawa nafsunya. Ungkapan beliau yang terkenal adalah: من إستحسن فقد تشرع
Pendapat Imam Syafi’i ini didasarkan pada ayat –ayat al-Quran, antara lain di dalam surat al-An’am ayat 38 dan ayat 44 surat al-Nah. Dimana dalam ayat pertama menerangkan kesempuranaan al-Quran untuk menajawab segala sesuatu. Sedang ayat kedua menjelaskan bahwa disamping al-Quran ada Sunnah Nabi untuk menjelaskan dan memerinci al-Quran sehingga menjadi lebih lengkap untuk menjadi rujukan dalam menetapkan hukum, sehingga tidak lagi memerlukan istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi.

Selain itu, dalam mendukung pendapatnya ini; Imam Syafi’i juga memberikan ilustrasi contoh: andaikata seorang pejabat negara atau Mufti harus memutuskan masalah berkenaan dengan bencana dahsyat yang tidak ada landasannya dalam nash atau analogi (Qiyas), dan andaikan diputuskan melalui Istihsan, maka bukanlah mereka harus mengakui hak orang lain untuk memilih ketentuan yang lain. Jika demikian, setiap pejabat dan Mufti dari setiap kota akan mengatur sesuai dengan pilihannya dan akan menimbulkan berbagai macam kebijakan yang bertentangan dengan kasus yang sama (Zahrah, 1997:412-416).

Adapun ulama yang menggunakan istihsan sebagai dasar hukum islam adalah madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Meskipun Imam Syafi’i tidak setuju, kerangka teori istihsan (pilihan yang patut) ini merupakan salah satu jenis “upaya Ijtihad” yang memiliki peranan tempat di dalam membicarakan koleksi dalil Syariah. (Ensiklopedia hukum Islam, 1999; Zahroh, 1999; Romli, 1999; Khalaf, 1990; Britannica, 2005).

Wallahu A’lam

2. Maslahah Mursalah

Secara bahasa Kata maslahah berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Sedangkan secara istilah maslahah mursalah adalah: “Sesuatu yang dianggap maslahat (memberi manfaat) namun tidak ada ketegasan hukumnya di dalam Nash dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa maslahah mursalah merupakan suatu hal yang dapat memberikan manfaat, akan tetapi hal tersebut tidak ada ketentuannya di dalam Nash. Contoh: Peraturan lalu lintas dengan segala rambu-rambunya. Peraturan seperti ini tidak ada dalil di dalam Nash, namun hukumnya penting untuk ditegakkan. Sebab peraturan ini sejalan dengan tujuan hukum syariat, yakni memelihara jiwa dan akal.

Macam Maslahah

1. Maslahah Mu’tabaroh: yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditentukan ketentuan hukumnya di dalam Nash untuk direalisasikan. Contoh: perintah berjihad untuk memelihara agama, penegakan hukuman qishos untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan dll.

2. Maslahah Mursalah: maslahah macam inilah yang sedang dibahas. Yakni kemaslahatan yang tidak ditegaskan secara pasti oleh nash dan tidak ada ketentuan hukumnya. Contoh: bagi pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm, maka pak polisi berhak menilangnya. Jika ada yang melanggar maka polisi boleh menilangnya. Sebab pemakaian helm dapat memelihara jiwa manusia.

3. Maslahah Mulghoh: yakni sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran tetapi dianggap palsu, karena bertentangan dengan ketentuan syariat. Maslahah macam ini adalah tertolak dan tidak diakui. Contoh: ada anggapan bahwa pembagian warisan antara anak laki dan perempuan seharusnya disamakan, dasarnya adalah maslahah. Maslahah semacam ini bertentangan dengan ketentuan syariat, oleh karenanya tertolak.

Syarat Maslahah Mursalah:

1. Benar-benar mendatangkan manfaat dan menolak madlarat (maslahah hakiki) bukan hanya dugaan belaka, semisal hanya mempertimbangkan kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkan.

2. Berupa kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi / golongan

3. Tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Nash dan Ijma’

Azas Maslahah harus meliputi lima hal dasar:

1. Pemeliharaan agama;
2. Pemeliharaan jiwa raga:
3. Pemeliharaan akal
4. Pemeliharaan keturunan dan kehormatan
5. Pemeliharaan harta benda

3. ‘Urf (Adat Istiadat/Kebiasaan)

‘Urf/adat istiadat secara bahasa berarti “Sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal”. Sedang menurut istilah: “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan”.
Contoh adat istiadat berupa perbuatan: Jual beli kebutuhan ringan seperti krupuk, ote-ote, tempe dll dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa ada ijab dan qabul.
Contoh adat istiadat berupa perkataan: Kebiasaan di masyarakat yang membedakan antara daging dan ikan. Padahal dalam al-Quran keduanya sama, yakni disebut daging. Hal-hal di atas dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.

Macam ‘Urf

A. Ditinjau dari sisi legalitas syariah:

1. Adat istiadat yang benar (al-‘Urf al-Shohih): suatu hal baik yang menjadi adat kebiasaan masyarakat namun tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Contoh: seorang suami belum boleh membawa istrinya jika belum melunasi maharnya secara penuh dll.

2. Adat istiadat yang tidak benar (al-‘Urf al-Fasid): sesuatu yang menjadi adat kebiasaan, namun menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Contoh: menyajikan minuman keras / berfoya-foya tanpa manfaat pada saat lulus wisuda, tari-tarian yang membuka aurat dll.

B. Ditinjau dari sisi cakupan:

1. Adat kebiasaan umum (al-‘Urf al-‘Am): yakni adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa. Contoh: perkatan suami kepada istri “haram aku berdekatan denganmu” berarti sang suami telah mentalak istri, atau masuk kamar mandi umum dengan membayar uang sewa yang ditentukan tanpa membatasi berapa lama, berapa kadar air yang digunakan dll.

2. Adat kebiasaan Khusus (al-‘Urf al-Khos): adat istiadat yang berlaku pada suatu masyarakat/negeri tertentu. Contoh: adat kebiasaan masyarakat Tuban, Lamongan dan Bojonegoro yang menentukan bahwa wanita yang melamar pria dalam prosesi pra-nikah, dll.

Seluruh Ulama sepakat: Menolak adat kebiasaan yang tidak benar (al-Urf al-Fasid).
Menurut penelitian salah seorang ulama, Madzhab fiqih yang paling benyak menggunakan adat istiadat sebagai dasar hukum adalah (skala kuantitas) Madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, kemudian baru Syafi’i.

* Catatan: Pada prinsipnya semua madzhab ini sepakat menggunakan adat istiadat sebagai landasan hukum. Namun oleh karena masing-masing madzhab punya jumlah dan rincian tentang adat kebiasaan yang berbeda maka metode ini dimasukkan dalam kategori dasar hukum yang diperselisihkan.

Syarat ‘Urf yang Dapat Dijadikan sebagai Landasan Hukum

1. Adat istiadat harus yang benar, dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis.
2. Adat istiadat harus bersifat umum, minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk pada suatu daerah / negeri tertentu.
3. Adat istiadat harus sudah ada ketika muncul peristiwa yang hendak diputuskan dengan landasan ini.
4. Tidak ada ketegasan dari pihak terkait yang berbeda dengan adat istiadat setempat (tidak diperselisihkan). Jika ada, maka adat istiadat tidak berlaku, dan yang digunakan adalah ketegasan dari pihak terkait.

Wallahu A’lam

4. Syar’u Man Qablana (Ajaran Para Nabi Sebelum Kerasulan Nabi Muhammad)

Pengertian:
syar’u man qablana adalah: “Ajaran-ajaran para Nabi mengenahi hukum-hukum syariat sebelum Nabi Muhammad Saw diturunkan, seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa, Isa dll.
Apakah syariat mereka tetap harus dijalankan oleh umat Muhammad ataukah tidak?. Terdapat beberapa pendapat dari para ulama.

Pendapat ulama:
A. Ulama Ushul Fiqih sepakat: Bahwa syariat para Nabi dahulu yang tidak tercantum di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul tidak berlaku bagi umat Islam. Sebab kedatangan syariat Muhammad telah menghapus ajaran-ajaran tersebut.

B. Ulama Ushul Fiqih sepakat: Bahwa syariat para Nabi yang tercantum di dalam al-Quran dan Sunnah adalah berlaku bagi umat Islam jika ada ketegasan bahwa syariat itu masih berlaku. Misalnya syariat berkurban, puasa dll.

C. Ulama Ushul Fiqih berselisih: Bagaimana jika ajaran tersebut tercantum di dalam al-Quran dan Sunnah, namun tidak ada ketegasan bahwa hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan tentang pembatalannya?!. Misalnya: hukum qisos. Bagi orang yang memukul kepala maka ia harus dipukul kepalanya juga. Sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 45 yang -kurang lebih- artinya sebagai berikut:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-likapun ada qisasnya. Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang dzalim ”

Dari sekian ayat-ayat qisos yang ada keterangan dan ketegasan pemberlakuannya hanyalah mengenahi pembunuhan, yakni jika seseorang membunuh maka ia harus dibunuh, sebagaimana yang tercantum di dalam surat al-Baqarah ayat 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu qisos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu Rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang pedih”.

Terdapat dua pendapat:

1. Madzhab Hanafi, Maliki, mayoritas madzhab Syafi’i dan sebagian madzhab Hanbali: Masih berlaku bagi umat Islam.

Dasar dan Argumentasi:
a. Pada dasarnya syariat itu adalah satu kesatuan yang datang dari Allah Swt. Oleh karena itu apa yang disyariatkan kepada para Nabi dahulu dan disebut di dalam Nash, maka berlaku pula bagi umat Islam. Hal ini ditunjukkan di dalam surat al-Syura ayat 13.
b. Terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti Nabi terdahulu, sebagaimana yang tercantum di dalam surat al-Nahl ayat 123

2. Madzhab Mu’tazilah, Syiah, sebagian kecil madzhab Syafi’i dan sebagian Hanbali: Tidak berlaku lagi bagi umat Islam.

Dasar dan argumentasi:
a. Setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri, sebagaimana yang ditunjukkan di dalam surat al-Maidah ayat 48. Itu berarti syariat para Nabi terdahulu tidak berlaku lagi.
b. Ketika Nabi mengutus Muadz bin Jabbal ke Yaman, Beliau bertanya kepadanya, tentang dengan apa ia memutuskan perkara. Ia jawab dengan al-Quran, Hadis dan Ijtihad. Dalam dialog tersebut tidak terdapat petunjuk Rasul untuk merujuk kepada Syar’u Man Qoblana. Jika hal ini berlaku pasti Nabi akan mewasiatinya.

Dari dua pendapat di atas, menurut salah seorang ulama Ushul –Abdul Wahab Kholaf- yang terkuat adalah pendapat pertama yang mengata-kan bahwa syariat para Nabi dahulu yang tercantum di dalam Nash dan tidak ada ketegasan pemberlakuannya adalah masih berlaku bagi umat Islam. Alasannya: Syariat Islam hanya menghapus syariat yang berbeda dengan syariat Islam. Dengan demikian syariat terebut masih berlaku bagi umat islam. Selain itu hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran bertujuan untuk memberi petunjuk kepada umat Islam, hal ini menunjukkan bahwa syariat para Nabi terdahulupun masih tetap berlaku, sampai ada dalil yang menghapuskannya. Wallahu a’lam

5. Istishab

Pengertian:
Istishab secara bahasa berarti “meminta ikut serta secara kontinyu”. Adapun menurut pengertian istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama, istishab berarti: “Menganggap status sesuatu (hukumnya) tetap seperti keadaan semula tanpa perubahan, sebelum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya (membatalkannya)”.
Senada dengan pengertian di atas, istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya”. Contoh: Seseorang yang sebelumnya diketahui masih hidup tetap dianggap hidup selama belum ada bukti bahwa ia telah wafat, atau seseorang yang sudah berwudlu masih terus dihukumi punya wudlu sampai ada bukti yang membatalkannya.

Macam Istishab

Istishab terbagi menjadi 4 (empat) macam:
1. Istishab ibahah ashliyah: “Pada dasarnya hukum segala sesuatu adalah mubah/boleh, selama tidak ada bukti yang melarangnya”. Istishab model ini banyak berperan dalam bidang muamalah. Dasarnya adalah Firman Allah di dalam surat al-Baqoroh ayat 29:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu ….”. Contoh: semua makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dll adalah halal selama tidak ada dalil/bukti yang melarangnya.

Hal ini senada dengan kaidah fiqih:
الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”

2. Istishab Baro’ah asliyah: ”Pada dasarnya setiap orang terbebas dari tuntutan/kesalahan selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya”. Jika ada orang lain yang menuduhnya maka ia harus membuktikan tuduhannya, jika tidak terbukti maka ia terbebas. Sebab pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan. Contoh: pada dasarnya manusia tidak punya hutang. Jika dituduh mempunyai utang maka pihak penuduh harus memberikan bukti, jika tidak maka pihak tertuduh bebas dan ia dihukumi tidak punya hutang. Hal ini senada dengan kaidah fiqih:
الأصل براءة الذمة
“pada prinsipnya semua orang terbebas dari tuntutan”

3. Istishab Hukmi: “Pada dasarnya hukum segala sesuatu tetap berlaku selama tidak ada bukti yang mengubahnya”. Contoh: seseorang yang memiliki sebidang tanah, maka tanah tersebut masih tetap dihukumi miliknya, selama tidak ada bukti bahwa tanah tersebut telah dijual ataupun dihibahkan. Ataupun seorang wanita yang telah menikah maka ia tetap harus dihukumi punya suami selama tidak ada bukti bahwa ia telah dicerai. Ataupun seseorang yang telah berwudlu masih dihukumi punya wudlu selama tidak ada bukti bahwa ia telah batal. Hal ini senada dengan kaidah fiqih:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya tetap selama tidak ada bukti yang mengubahnya”

* Macam Istishab di atas, no.; 1, 2 dan 3, seluruh ulama sepakat dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

4. Istishab Wasfi: “Pada dasarnya sifat dari segala sesuatu masih berlaku sebelum ada bukti yang mengubahnya”. Contoh: Air yang diketahui bersih tetap dihukumi bersih selama tidak ada bukti bahwa iar tersebut najis. Ataupun seseorang yang punya sifat idiot tetap ia masih dihukumi idiot (ia tidak wajib menjalankan kewajiban karena kurang akal) selama tidak ada bukti bahwa ia telah sempurna akalnya.

* Khusus Macam Istishab no. 4 ini terjadi perbedaan pendapat antar Ulama:
1. Madzhab Syaf’i dan Hanbali: Dapat dijadikan sebagai landasan hukum secara mutlak.
2. Madzhab Hanafi dan Maliki: Perlu pemilahan. Sebab kaidah ini hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan haknya yang baru

6. Madzhab Shahabi (pendapat Sahabat)

Pengertian:
madzhab shohabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan Hadis”. Sedangkan yang dimaksud dengan “sahabat” adalah “Setiap orang Islam yang hidup bergaul bersama Nabi dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasul”. Para sahabat tersebut antara lain: Umar bin Khottob, Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Aisyah dll. Contoh pendapat Sahabat yang dijadikan sebagai dasar hukum antara lain:

1. Pendapat Aisyah: Batas maksimal waktu kehamilan seorang wanita adalah 2 tahun.
2. Pendapat Umar bin Khottob: Lelaki yang menikahi wanita yang masih dalam kondisi ‘iddah maka ia harus dipisahkan dan diharamkan menikahi kembali wanita tersebut selama-lamanya.
3. Pendapat Anas bin Malik: Batas minimal waktu haidl seorang wanita adalah 3 hari.

Macam Madzhab Shahabi:
Terdapat ulama yang mengklasifikasikan pendapat sahabat menjadi 4 bentuk:
1. Fatwa sahabat yang bukan hasil ijtihadnya, tetapi kemungkinan besar berasal dari Rasul. Misalnya batas minimal mahar adalah sepuluh dirham. Model pendapat seperti ini telah disepakati oleh ulama dapat dijadikan sebagai landasan hukum.
2. Fatwa sahabat yang disepakati oleh mereka semua, hal ini dikenal dengan ijma’ sahabat. Misalnya mereka sepakat melarang seorang laki-laki madu (poligami) dengan bibi istri dari jalur ayahnya ataupun ibunya. Model ini juga disepakati oleh ulama dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Pokok permasalahannya: “Apakah dapat dijadikan sebagai landasan hukum?.
3. Hanafiah, Malikiah, Syafiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan generasi sesudahnya.
4. Mu’tazilah, Syiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sajabat tidak dapat dijadikan sebagai pegangan generasi sesudahnya.

7. Sadd al-Dzari’ah

A. Pengertian
Saad secara bahasa: “menutup”, sedangkan dzarī’ah: “jalan yang menghubungkan kepada suatu tujuan, baik yang mengandung suatu kemafsadahan maupun mengandung suatu kemaslahatan, berupa perbuatan ataupun perkataan”. Dengan demikian saad dzarī’ah secara bahasa berarti “menutup jalan ke suatu tujuan“.Menurut istilah, Saad al-Dzarī’ah adalah: “Setiap sesuatu yang menghubungkan kepada sesuatu yang dilarang, yang mengandung kemafsadatan dan kemadhorotan”.
Contoh: Seseorang yang menggali sumur secara tersembunyi di tempat keramaian yang akan mengakibatkan orang lain akan terjerumus kedalamnya. Pada dasarnya menggali sumur untuk diambil airnya akan membawa kebaikan, tapi perbuatan tersebut dilarang karena tempatnya di keramaian dan tersembunyi yang akan dapat membawa bahaya kepada orang lain. Oleh karena itu, perbuatan tersebut haram berdasarkan dalil ini.

B. Bentuk Sadd al-Dzarī’ah

Melihat dari segi kuwalitas kerusakan yang ditimbulkan, Saad al-Dzarī’ah terbagi menjadi tiga bentuk:
1. Suatu bagian dimana umat sepakat melarangnya; contoh, Menjual anggur kepada pembuat minuman keras, menggali sumur dibelakang pintu rumah dalam keadaan gelap dengan tujuan agar orang yang masuk rumah akan terjerumus kedalamnya. Perbuatan ini dilarang.
2. Suatu bagian dimana umat sepakat tidak melarangnya, misalnya, pelarangan terhadap penanaman anggur yang dikhawatirkan akan digunakan untuk membuat khomr, sesungguhnya tak seorangpun melarang hal itu, karena didalam penanaman anggur tersebut terdapat manfaat yang banyak, oleh sebab itu tidak boleh melarang penanaman anggor ini hanya karena dikhawatirkan akan dibuat khomr.
3. suatu bagian yang diperselisihkan, Apakah suatu hal dapat merupakan sebuah dzarī’ah yang dapat mendatangkan sebuah kerusakan atau tidak?. misalnya, jual beli ājal, jual beli ini secara dhohir sah, namun ketika melihat hakikat dan bathinnya, jual beli macam ini menjembatani terhadap terjadinya riba. Dengan mempertimbangkan besarnya kuwalitas riba dan kemafsadatan yang diduga kuat akan timbul, ulama Malikiyah dan Hanabilah meng-haramkan jual beli ini. Sementara Syafi’iah mengesahkan jual beli ini, dengan manafikan prasangka akan terjadi suatu kemafsadatan.

C. Posisi dzarī’ah

Apakah Saad al-Dzarī’ah dapat dijadikan sebagai landasan hukum?:
1. Ulama Malikiyah dan Hanabilah: Dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil Al-Quran dan Hadist, yaitu: Firman Alloh surat al-An’ām ayat 108.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
”Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Alloh , karena mereka nanti akan memaki Alloh dengan melampaui batas pengetahuan….”.
Ayat diatas melarang seseorang untuk memaki sesembahan orang musyrik, karena hall itu akan menyebabkan mereka mencaci maki Alloh dengan berlebih-lebihan. Pelarangan tersebut merupakan saad al-dzarī’ah.
Sedangkan Hadist yang mendukung kehujjahan saad al-dzarī’ah antara lain adalah: Hadist riwayat Imam Bukhori. Esensi dari Hadist di bawah ini adalah sebuah dugaan. Walaupun atas dasar dugaan, Rasulullah melarangnya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Dari Abdulloh Ibnu Umar ra, berkata, Rasululloah saw bersabda: Sesungguhnya termasuk dosa yang paling besar dari dosa-dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya”, lalu Rasulullah saw. ditanya, ya Rasulullah, bagaiman mungkin seseorang melaknat kedua orang tuanya?. Rasulullah menjawab: Seseorang mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang lain itu (membalas) mencaci maki ayah dan ibunya” ( HR . Bukhori ).

2. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah sekalipun secara eksplisit tidak mencantumkan Saad al-Dzarī’ah sebagai dasar hukum, namun secara implisit mereka menerimanya. Dalam masalah tertentu mereka menggunakannya, dan dalam masalah yang lain mereka menolaknya. Mereka melihat segi potensi kemafsadatan yang akan ditimbulkan, jika sebuah kemafsadatan dipastikan akan terjadi atau diduga kuat akan terjadi, maka mereka menggunakan saad al-dzarī’ah.

3. Madzhab Zhahiriyah: Sadd al-Dzarī’ah tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum islam.

2 Comentários:

Lili Yoanda Noris mengatakan...

Assalamu'alaykum ...

Fathur Rahman al-Aziz mengatakan...

Wa'alaikum salam.....

Posting Komentar

FKM-MU BAKID ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO