Senin, 21 Maret 2011

Makna Semantik Din

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bahasa arab kata yang lazim digunakan untuk menyebut apa yang dalam bahasa kita dinamakan agama adalah al-dīn. Al-Qur'an menggunakan kata dīn untuk menyebut semua jenis agama dan kepercayaan kepada tuhan, sebagaimana firman Allah SWT:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (الكافرون : 6)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ (الفتح : 28)
pada ayat pertama dan kedua di atas dibicarakan tentang agama islam (agama orang-orang mukminin) dan agama selain Islam (agama orang kafir) sebagai dua agama yang berbeda. Sedangkan pada ayat ketiga dibicarakan tentang keunggulan agama kebenaran (Islam yang dibawa nabi Muhammad) atas semua agama, baik agama Islam yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya maupun agama dan kepercayaan yang sesat. Pada kesemuanya itu, digunakan istilah dīn, baik pada agama yang benar (ad-dīn al-haq) maupun agama yang rusak (ad-dīn al-bāthil), dan baik agama yang berdasarkan wahyu ilahi atau agama langit (revealed relegion) maupun agama produk kebudayaan manusia atau agama budaya (natural relegion).
Dengan demikian, kata dīn tidak bisa didefinisikan secara sepihak atau hanya meliputi sebagian agama dan kepercayaan saja, melainkan harus didefinisikan dengan pengertian yang menyeluruh yang menghimpun semuanya. Hal itu karena, meskipun antara agama-agama itu terdapat perbedaaan eksistensi, sumber, tujuan dan nilainya, tetapi semuanya terhimpun dalam istilah dīn. Maka, apakah sebenarnya pengertian agama atau dīn itu?. Oleh karena itu dalam makalah ini akan sedikit membahas tentang pengertian agama atau dīn menurut pandangan al-Qur’an dan pendapat beberapa ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Makna Semantik Kata Dīn
Untuk mendapat gambaran yang mendasar tentang kata dīn, maka sebelum mendefinisakannya secara istilahi, terlebih dahulu kita akan melihat makna-makna semantik atau lughawi kata tersebut dalam berbagai kamus bahasa arab. Kata dīn adalah bentuk masdar dari kata kerja dāna-yadīnu yang memiliki banyak makna, antara lain sebagai berikut: 1. ketaatan dan kemaksiatan 2. kemuliaan dan kehinaan 3. paksaan dan kemenangan 4. kesalehan 5. perhitungan 6. pembalasan 7. putusan 8. kekuasaan 9. pengaturan atau pengurusan 10. tingkah laku 11. adat atau kebiasaan 12. kepercayaan 13. perkara atau urusan 14. kepercayaan 15. tauhid 16. ibadah 17. millah dan madzhab 18. nama bagi semua apa yang dijadikan sarana untuk menyembah Allah.[1]
Dr. Muhammad Abdullah Daraz melakukan kajian mendasar dan mendalam tentang kata dīn.[2] melihat berbagai makna dīn di atas, ia menyatakan bahwa dibalik perbedaan-perbedaan makna tersebut sebenarnya ada hal yang sangat berdekatan, bahkan terdapat hubungan yang sempurna pada esensi maknanya. Makna-makna yang banyak itu pada puncaknya kembali kepada tiga makna yang hampir-hampir bersifat saling memenuhi (mutalāzimah). Bahkan perbedaan-perbedaan ringan  antara ketiga makna tersebut pada hakikatnya kembali kepada kesimpulan bahwa kata yang sedang kita bahas ini atau dīn bukanlah satu kata, melainkan tiga kata.
Jelasnya, kata dīn itu mengandung tiga kata kerja (fi'il) secara bergiliran atau bergantian, yakni:
1.      Kata kerja transitif (fi'il muta'addī binafsih), yaitu dānahu-yadīnuhu bermakna malakahu yaitu memilikinya; atau bermakna hakamahu yaitu memerintah atau memimpinnya; atau bermakna sāsahu wa dabbarahu yaitu mengatur atau mengurusinya; atau bermakna qahharahu yaitu memaksa atau mengalahkannya; atau bermakna hāsabahu yaitu membuat perhitungan dengannya; atau bermakna qadhā fi sya'nihi yaitu memutuskan perkaranya; dan bermakna jāzahu wa kafa'ahu yaitu membalasnya.
Dengan demikian, kata dīn berkisar pada makna kewenangan dan kepemilikan atau hak serta tindakan yang dilakukan oleh para raja, penguasa atau pemimpin, yakni menyiasati, mengurus, mengatur, memerintah, menghukumi, memaksa, mengalahkan, dan memberikan balasan atau imbalan. Termasuk dalam pengertian ini adalah firman Allah, مالك يوم الدين (الفاتحة : 4) artinya yang menguasai hari pembalasan. Dalam sebuah hadis dikatakan: الكيس من دان نفسه (رواه أحمد) artinya orang cerdik adalah orang yang dapat menguasai dan mengendalikan dirinya. Ada juga sebutan al-dayyan untuk hakim (qādhi).

2.      Kata kerja transitif (fi'il muta'addī bi-lam), yakni dāna lahu ( دان له ) bermakna athā'ahu artinya menaatinya, dan bermakna khadha'a lahu artinya tunduk patuh kepadanya. Dengan demikian, kata dīn di sini bermakna tunduk patuh, taat, beribadah, kesalehan, dan ketakwaan. Kata al-Dīn li Allah misalnya, bisa bermakna tunduk patuh kepada Allah; dan bisa juga diartikan dengan makna pertama, yakni hukum kekuasaan, atau putusan itu bagi Allah.

3.      Fi'il muta'addi bi-ba', yakni dāna bihi yang bermakna ittakhadzahu dīnan wa madzhaban yaitu menjadikan sesuatu sebagai dīn dan madzhab. Maksudnya mempercayainya, membiasakannya atau berperilaku dengannya. Kata dīn di sini berarti madzhab atau thariqah (metode atau jalan khusus) dimana seseorang berjalan, baik secara teoritik maupun praktik. Madzhab praktik bagi seseorang adalah kebiasaan dan tingkah lakunya, sedang madzhab teoritik baginya adalah aqidah dan pendapat yang dianutnya.
Berdasarkan semua itu ditarik benang merah bahwa kata dīn pada ketiga penggunaan kata kerjanya itu semuanya berkisar pada luzum al-inqiyād atau kewajiban untuk tunduk dan patuh. Pada penggunaan kata kerja pertama, kata dīn pertama bermakna ilzām al-Inqiyād atau hal mengharuskan tunduk dan patuh; pada penggunaan kedua, bermakna iltizām al-inqiyād atau mengharuskan diri untuk tunduk patuh; dan pada penggunaan ketiga,  bermakna al-mabda’ alladzī yaltazim al-Inqiyād atau dasar yang mengharuskan diri untuk mengikuti dan mematuhinya.
Dari uraian di atas, dapatlah kita ketahui letak keunggulan kata dīn jika dibandingkan dengan kata agama atau religion, yang mana dīn memiliki makna dasar yang luas yang satu sama lain memiliki hubungan sangat erat dan saling melengkapi. Sedang kata agama adalah pinjaman dari bahasa sanskerta untuk menunjukkan sistem kepercayaan dalam tradisi agama hindu/budha. Kata agama menurut salah satu teori berasal dari gam yang berarti pergi, sebagaimana kata ga atau  gaan (belanda), dan go (inggris). Setelah mendapat awalan dan akhrian A menjadi agama pengertian berubah menjadi agama.[3]
Sedangkan penggunaan dalam masalah teknis tidak dibedakan antara ketiga kata tersebut, dimana jika disebut agama, maka yang dimaksud adalah dīn, agama, dan religion, atau sebaliknya.
  1. Makna dīn dalam al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an kata yang berasal dari akar kata d-y-n disebutkan sebanyak 101 kali[4], dengan perincian sebagai berikut:
1)      Yang bermakna dīn disebutkan sebanyak 95 kali dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
a.       Masdar: dīn atau al- dīn sebanyak 92 kali.
b.      Isim Maf’ūl: Madīnun dan Madīnin sebanyak 2 kali.
c.       Fi’il Mudhāri’: yadīnūna sebanyak 1 kali.
2)      Yang bermakna dain atau hutang sebanyak 6 kali dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
a.       Masdar: dain sebanyak 5 kali;
b.      Fi’il Mādhi: Tadāyantum sebanyak 1 kali.
Jika kita mengkaji kata dīn dalam al-Qur’an, maka ketiga penggunaan kata kerja dāna yang dikemukakan Dr. Muhammad Abdullah Daraz di atas, akan kita temukan di dalamnya. Yang paling banyak adalah penggunaan ketiga atau dāna bihi yang bermakna agama atau kepercayaan kepada tuhan yang disebutkan sekitar 63 kali, baik agama Islam maupun agama dan kepercayaan lainnya. Penggunaan kedua atau dāna lahu disebutkan 12 kali yang bermakna ketaatan atau ketundukan kepada Allah dan memurnikan peribadatan kepada-Nya. Sedang penggunaan pertama atau dānahu disebutkan sebanyak 15 kali yang bermakna hari pembalasan dan yang diberi balasan atau yang dikuasai.
  1. dīn dan Millah
Istilah lain yang sering digunakan al-Qur’an untuk menyebut agama adalah Millah yang disebut sebanyak 15 kali, 9 kali dinisbatkan kepada agama yang benar, khususnya millah Ibrahim, dan 6 kali dinisbatkan kepada agama yang sesat.
Asal kata millah adalah amlaltul kitab artinya saya mendiktekan kitab, Abu Ishaq berkata, millah menurut bahasa adalah sunnah dan jalan. Secara istilah millah itu juga dimaksudkan sebagai syariat dan dīn. Muhammad Rasyid Ridha mendefinisikan dīn dengan himpunan beban syara’ yang menjadi sarana bagi hamba untuk beribadah kepada  Allah; maka dalam pengertian ini, dīn juga bermakna Millah dan syara’.[5] Ibn Mandhur berkata bahwa Millah adalah syri’at dan din. Dikatakan pula bahwa Millah adalah agama besar dan totalitas apa yang dibawa oleh para rosul.[6]
Namun millah bisa dibedakan dengan dīn, baik dari segi makna maupun penggunaan lafalnya, sebagai berikut:
a.       Dari segi makna, para ulama berkata: Apa yang dibebankan Allah kepada hamba-hamba-Nya dinamakan syara’ jika dilihat dari segi peletakan dan penjelasannya (sebagai undang-undang dan penjelasan), dinamakan dīn apabila dilihat dari segi adanya ketundukan dan kepatuhan kepada pembuat syara’, dan dinamakan millah apabila dilihat dari segi berupa himpunan taklif.[7]
b.      Dari segi penerapan kata, dibedakan bahwa kata millah tidak dirangkaikan kecuali kepada para nabi dan kepada lafal yang bermakna jama’, seperti millatu Ibrahim dan Millata Aba’i. hampir tidak bisa ditemukan millah yang dirangkaikan pada Allah atau individu. Oleh karenanya, tidak bisa dikatakan, misalnya, Millah Allah, Millati, dan Millatu Zaid. Adapun kata dīn bisa dirangkaikan kepada semua itu, seperti, dīn Allah, dīnī dan dīnukum.[8]
  1. Definisi Agama Dikalangan Para Ulama
Di kalangan para ulama Islam terdapat berbagai pendapat tentang definisi agama yang tidak jarang terjadi perbedaan pandangan antara satu dengan lainnya. Memang, tidak mudah untuk mendefinisikan agama, lebih-lebih jika yang dituntut adalah definisi umum yang bisa menghimpun semua agama dan dapat diterima oleh semua kalangan. Pada kenyataannya, pandangan seseorang tentang agama sangat ditentukan oleh pemahamannya tentang ajaran agama itu sendiri dan pengalaman keagamaan yang dialaminya. Definisi agama yang sangat dikenal di kalangan ulama islam adalah undang-undang ketuhanan yang berfungsi untuk menuntun orang-orang yang berakal sehat untuk memilih kebaikan di dunia dan keberuntungan di akhirat.
Definisi di atas bisa dipertegas sebagai berikut: agama adalah undang-undang ketuhanan yang berfungsi untuk membimbing kepada kebenaran dalam akidah dan kebajikan dalam perilaku dan muamalah.[9] Ar-Rahib al-Asfahani mendefinisikan agama secara lebih khusus sebagai berikut: agama adalah nama bagi apa yang telah disyariatkan Allah kepada para hamba-hamba-Nya melalui para nabi, agar mereka bisa mencapai kedekatan dengan Allah.[10]
Dari berbagai definisi tentang agama di atas, dapatlah di tarik kesimpulan bahwa apa yang disebut agama dalam sepanjang sejarah manusia itu pasti memenuhi dua makna, yakni:
1.      Al-Hālah al-Nafsiyah yaitu situasi kejiwaan orang yang beragama atau yang dikenal dengan al-Tadayyun atau hal beragama atau rasa keagamaan. Ustadz Mahmud  Abdul Faidh mendefinisikan tadayyun dalam pengertian umum sebagai kepatuhan atau ketundukan kepada akidah apapun, baik yang berpaham satu tuhan ataupun banyak tuhan, yang berasal dari sumber tertentu meskipun banyak cabang atau anak cabangnya, sesuai dengan banyak kecendrungan dan warna pemikiran manusia serta peristilahan berbagai tata-tertib dan adat-istiadat keagamaan dari bermacam-macam bangsa. Maka dari segi ini, agama didefinisikan sebagai kepercayaan kepada dzat yang patut ditaati dan disembah.
2. Al-Haqīqah al-Khārijiyah yaitu pernyataan lahiriyah orang yang beragama. Maka dari segi ini agama didefinisikan sebagai undang-undang teoritik yang memberikan batasan terhadap kekuatan ilahiyah, dan himpunan kaidah-kaidah praktis yang menggariskan jalan beribadah kepada-Nya.[11]
               BAB III
               SIMPULAN
Dari berbagai definisi tentang agama di atas, dapatlah di tarik kesimpulan bahwa apa yang disebut agama, yang lahir di masyarakat, apapun macam ajarannya selalu memiliki dua wajah ajaran yakni:
a.       ajaran batiniyah berupa kebatinan dan kepercayaan
b.      ajaran lahiriyah berupa praktis dan terapan.[1]
Jika lebih dirinci, maka dapat dikatakan bahwa hampir setiap agama yang ada di dunia ini mengandung
 empat unsur penting sebagai berikut:
                         i.          pengakuan adanya “kekuatan gaib” yang menguasai, mengatur, atau mempengaruhi kehidupan manusia.
                       ii.          Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung kepada adanya hubungan baik dengan “kekuatan gaib” tersebut.
                     iii.          Sikap emosional pada hati dan jiwa manusia terhadap “kekuatan gaib” itu, seperti rasa takut, hormat, cinta, penuh harap, dan pasrah.
                     iv.          Tingkah laku tertentu yang bisa diamati sebagai buah dari ketiga unsur di atas, seperti sholat, puasa, berdoa, bertobat, suka menolong, dan meninggalkan hal buruk.



[1]  Mahmud Abd al-Faidh, t.t, al-Dīn al-Muqāran, Bahats fi sa’ir Dinayat al-‘Alamiyah, t.k, hlm. 27.
 


[1] Dār al-Masyriq Beirut, 2000, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lām, Beirut-Lubnān: al-Maktabah al-Syarqiyah, hlm. 231; Ibrāhīm Anīs, t.t., al-Mu'jam al-Wasīth, juz. 1, t.k., hlm. 307; Muhammad Warson Munawwir, 1997,  al-Munawwir, Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, hlm 437.
[2] Muhammad Abdullah Daraz, t.t., al-Dīn: Buhuts Mumahhadah li Dirasat Tārīkh al-Adyān, t.k, hlm, 30-31.
[3] Sidi Gazalba, t.t., Ilmu Filsafat dan Islam tentang manusia dan agama, t.k, hlm.114
[4] Muhammad Fuād Abd al-Bāqi, 2001, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfādz al-Qur’an, al-Qāhirah: Dār al-Hadīts, hlm. 329-330.
[5] Muhammad Abduh, Rasyīd Ridhā, t.t., Tafsīr al-Qur’an al-Hakīm (Tafsīr al-Manār), juz. 3, Beirut-Lubnān: Dār al-Ma’rifah, hlm. 257.
[6] Ibn al-Mandzūr, 1997, Lisān al-‘Arab, jilid. 11, Beirut: Dār Shādir, hlm. 631.
[7] Muhammad Abduh, Rasyīd Ridhā, Loc. cit.
[8] Ar-Rāhib al-Asfahāni, t.t, Mu’jam Mufradāt Alfādz al-Qur’an, t.k, hlm. 492.
[9]    Muhammad Abdullah Daraz, op. Cit, Hlm. 33.
[10]  Ar-Rāhib al-Asfahāni, op.cit, hlm. 491.
[11]  Muhammad Abdullah Daraz, op. Cit, hlm. 52.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

FKM-MU BAKID ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO