Selasa, 22 Maret 2011

Sejarah Dan Ajaran Al-Qusyairi

BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf irfani dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia. Supaya lebih mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan bermasyarakat, para pakar tasawuf membentuk kajian tasawuf ini pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW.
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه أحمد و البيهقي)
Salah seorang tokoh tasawuf akhlaki adalah al-Qusyairi, untuk mengenal lebih dalam mengenai al-Qusyairi maka patut kiranya kita ketahui mengenai sejarah beliau serta ajaran yang diajarkannya sebagaimana akan dijelaskan dalam makalah ini.
semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi teman-teman, atau bagi siapa saja yang kebetulan membaca tulisan dalam makalah ini, penulis hanyalah manusia yang lemah yang sangat jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis sangat berterima kasih apabila ada kritik, saran, atau apa saja yang berkaitan dengan makalah ini lebih-lebih kami mohon bimbingan dari dosen pembimbing mata kuliah ini, yaitu beliau H. M. Yusuf Agung Subekti, Lc,., M. Si.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup al-Qusyairi
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin. Sedangkan nasabnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad sedangkan panggilannya adalah Abul Qasim. Ia lahir pada bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau tahun 986 M di Astawa.
Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya sedikit saja. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan pada Abul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al-Qusyairy. Pada al-Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat..
Di naisabur inilah ia bertemu gurunya, Abu Ali al-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan. Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan tarekat.
Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis gurunya, dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankan kepadanya untuk pertama-tama mempelajari syari’at. Oleh karena itu, al-Qusyairi belajar Fiqh kepada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr al-Thusi (w. 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farauk (w. 406 H). Selain itu, menjadi murid Abu Ishaq al-Isfarayini (w. 418 H) dan menelaah banyak karya al-Baqilani.
Dari situlah, al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dikembangkan al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh aliran itu dalam menentang doktrin aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan keras, bahkan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Tughrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah Ahl al-Sunnah. Menurut B. Khallikan, al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syari’at dengan hakikat. Syuja’ al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama abad kelima Hijriiyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.
B. Ajaran-Ajaran Tasawuf al-Qusyairi
1. Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah
Apabila al-Risalah al-Qusyairiyyah karya al-Qusyairi dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf pada landasan doktrin ahlus Sunnah. Secara implisit dalam ungkapannya al-Qusyairi terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan dengan sifat-sifat kemanusiaan. pernyataan ini juga terkandung dalam perkataannya berikut ini,
“sesungguhnya seorang hamba tidak boleh menyandang sifat-sifat Allah sebagaimana anggapan sebagian sufi bahwa seorang hamba bisa menjadi kekal sebagaimana kekalnya Allah, bisa mendengar sebagaimana pendegaran Allah serta bisa melihat sebagaimana penglihatan Allah. Ini sudah keluar dari agama dan menanggalkan islam serta bid’ah yang lebih buruk daripada ucapan orang-orang nashrani bahwa kalimat qadimah bersatu dengan Isa as”.
2. Kesehatan Batin
Selain itu, al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah lebih penting dari pada pakaian lahiriah. Sebagaimana perkataannya,
“Duhai, saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian... setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang batin... dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan al-Qur’an maupun al-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi kerendahan hati maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah.
3. Penyimpangan Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, al-Qusyairi mengemukakan penyimpangan lain dari para sufi abad kelima hijriyah, pendapat al-Qusyairi barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangan yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi moral dan tingkah laku.
Menanggapi masalah ini, dia berkata, barang siapa yang berkata bahwa syariat berbeda dengan hakikat maka ia zindiq. Serta barang siapa yang berkata bahwa yang dimaksud cinta kepada Allah dan sampai kepadanya adalah tidak mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah secara keseluruhan maka dia itu zindiq.
Oleh karena itu, ia menulis risalahnya karena keprihatinannya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya sekadar pengobat keluhan atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut al-
Qusyairi harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dalam ini adalah dengan mengikuti para sufi Sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah seperti diriwayatkan dalam Risalahnya.

BAB III
SIMPULAN
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin. Sedangkan nasabnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad sedangkan panggilannya adalah Abul Qasim. Ia lahir pada bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau tahun 986 M di Astawa.
Ia bertemu gurunya, Abu Ali al-Daqqaq di naisabur seorang sufi terkenal. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan. Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, serta memilih jalan tarekat.
beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l073 M. Ketika itu usianya 87 tahun. Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Mengenai ajarannya al-Qusyairi menekankan kembali kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan mengikuti para sufi Sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah seperti diriwayatkan dalam Risalahnya, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangan yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi moral dan tingkah laku.
DAFTAR PUSTAKA
al-Biqa’i, Burhanuddin, 1980, Mashra’ al-Tasawwuf cd software maktabah syamilah, Makkah al-Mukarramah.
Anwar, Rosihon, 2009, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.
M. Sholihin dan Rosihon Anwar, 2008, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Murid Paramartha, 2009, Imam al-Qusyairi. Online (http://tokohsufi.wordpress.com/2009/11/08/imam-al-qusyairi/) diakses tgl. 01 November 2010.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

FKM-MU BAKID ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO