Selasa, 22 Maret 2011

Hukum Syara'

Pembahasan Hukum Syara’ merupakan salah satu dari obyek kajian ilmu Ushul Fiqih. Di dalam pembahasan ini materi yang akan di kaji meliputi; al-Hakim (Pembuat hukum Syara’/Allah), Pengertian hukum syara’, Pembagian hukum syara’, Mahkum Fiih (Perbuatan mukallaf) dan Mahkum ‘Alaih (orang mukallaf)
Skema pembahasan hukum syara’

1. Al-Hakim (Pembuat hukum)

Lafad Hakim berasal dari kata hakama yang berarti memutuskan perkara. Secara bahasa Hakim adalah “Pihak yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fiqih ada persamaan pengertian antara Hakim dan Qadli, yang berarti “Orang yang memberiakan putusan hukum di dalam pengadilan”.
Namun di dalam kajian Ushul Fiqih, Hakim adalah Pembuat/pemutus hukum secara hakiki, yakni Allah SWT. Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa yang menjadi sumber dalam memutuskan hukum secara hakiki adalah Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam surat al-An’am ayat 57:
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Katakanlah, sesungguhnya aku berada di atas hujah yang nyata dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”


2. Pengertian Hukum Syara’
Secara bahasa yaitu “memutuskan”, secara istilah hukum syara’ adalah:
“Kalam Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah (mengerjakan/meninggalkan), tahyir (pilihan), atau penetapan sesuatu menjadi sebab, syarat, atau penghalang”.

Dari pengertian di atas dapat diuraikan bahwa hukum syara’ merupakan Kalam Allah yang mengatur segala tingkah laku dan perbuatan manusia yang mukallaf (islam, baligh dan berakal). Kalam Allah bisa berupa:

1. Perintah mengerjakan sesuatu ex.: sholat 5 waktu.
2. Anjuran mengerjakan sesuatu ex.: Kesopanan dalam bergaul
3. Larangan mengerjakan sesutu ex.: Minum Khomer
4. Anjuran meninggalkan sesuatu ex.: Berkumur pada saat berpusa
5. Memberi pilihan: antara melakukan dan tidak melakukan ex.: Makan
6. Menetapkan sesuatu sebagai sebab ex.: Tergelincirnya matahari sebagai sebab dari kewajiban menunaikan Sholat Dluhur
7. Menetapkan sesuatu sebagai syarat ex.: Berwudlu sebagai syarat jika orang hendak melakukan sholat
8. Menetapkan sesuatu sebagai penghalang (mani’) ex.: seseorang yang membunuh orang tuanya, menjadi penghalang ia mendapatkan warisan.
9. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan batal
10. Menetapkan seuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshoh

Dengan demikian hukum syara’ dalam wacana Ushul Fiqih merupakan keputusan dan ketetapan hukum atas perbuatan orang mukallaf yang bersumber dari teks al-Quran dan Hadis, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

3. Pembagian Hukum Syara’
Ulama Ushul Fiqih membagi hukum syara’ menjadi dua bagian; Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i.

1. Hukum Taklifi.

Hukum taklifi adalah “Hukum yang mengandung perintah, larangan atau memberi pilihan kepada seorang mukallaf”.
* Perintah Allah terbagi menjadi dua; Wajib dan Sunat.
* Larangan Allah terbagi menjadi dua: Haram dan Makruh
* Pilihan terbagi menjadi dua: boleh mengerjakan boleh meninggalkan.

* Wajib

Menurut bahasa wajib berarti tetap atau pasti. Adapun menurut istilah wajib adalah: “sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah untuk dilaksanakan oleh seorang mukallaf, jika dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah dan jika ditinggalkan diancam dengan dosa”
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa perkara yang diwajibkan oleh Allah harus dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Jika melaksanakan perkara wajib maka ia akan mendapat pahala disisi Allah SWT. Tidak ada balasan kecuali surga di akhirat kelak, suatu tempat yang kenikmatannya tidak pernah dilihat dan dirasakan di dunia yang sementara ini. Ia akan kekal di dalamnya. Namun jika perintah Allah yang berupa “wajib” ditinggalkan maka ia berdosa dan nerakalah tempatnya, terkecuali ia bertobat dan mendapat ampunan dari Allah SWT.

Wajib terbagi menjadi tiga bagian secara garis besar:
a. dari sisi pembebanannya: Wajib Ain dan Wajib Kifayah
b. dari sisi kandungan perintah: Wajib Mu’ayyan dan Wajib Mukhoyyar
c. dari sisi waktu pelaksanaannya: Wajib Mutlak dan Wajib Muaqqat

• Wajib Ain: kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap mukallaf tanpa kecuali. Kewajiban ini harus dilaksanakan sendiri dan tidak bisa diganti orang lain. Seperti sholat dll.
• Wajib Kifayah: kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf dan dapat gugur manakala telah dilaksanakan oleh sebagian dari mereka. Seperti sholat jenazah.
• Wajib Mu’ayyan: suatu kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan bagi mukallaf, seperti puasa di bulan ramadlan dll.
• Wajib Mukhoyyar: suatu kewajiban yang boleh dipilih oleh mukallaf atas beberapa alternative. Misalnya membayar kifarat (denda) bagi seseorang yang melanggar sumpah, maka ia wajib memilih salah satu dari tiga hal dalam membayar kifarat: memberi makan 10 fakir miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
• Wajib Mutlak: suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti mengqadlo’ puasa ramadlan yang tertinggal dll.
• Wajib Muaqqat: suatu kewajiban yang pelaksanannya dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti sholat lima waktu dll.

* Sunat

Hukum sunat merupakan sesuatu yang dianjurkan. Sunat menurut istilah adalah: “Suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasulullah, jika dilaksanakan akan diberi pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa”. Istilah sunat bisa disebut dengan istilah mandub, nafilah, mustahab, tathowwu’, ihsan, dan fadhilah.

Menurut sebagian ulama Ushul, Sunnah terbagi menjadi tiga bagian:
1. Sunat Muakkad
2. Sunat Ghairu Muakkad
3. Sunat Zawaid.

• Sunat Muakkad: sunnah yang sangat dianjurkan, sebab sunnah ini selalu dilakukan oleh Nabi SAW dan sangat jarang ditinggalkan. Misalnya sholat sunnat sebelum fajar.
• Sunat Ghoiru Muakkad: sunnah yang biasa dianjurkan, sebab sunnah ini biasa dilakukan oleh Nabi SAW, namun terkadang ditinggalkan. Misalnya memberikan sodaqah kepada orang yang tidak dalam kondisi terdesak.
• Sunat Zawaid: Sunnat yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW sebagai seorang manusia biasa, seperti adapt kebiasan nabi dalam hal makan, minum duduk, berpakaian dll.

* Haram

Haram secara bahasa adalah sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Adapun menurut istilah haram adalah: “Sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah, dimana orang yang melanggarnya akan berdosa dan durhaka, sementara orang yang meninggalkannya (dengan niat menaati perintah Allah) akan mendapatkan pahala”
Di dalam kajian Ushul Fiqih diuraikan bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah pasti membawa kerusakan dan bahaya. Sedangkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah pasti membawa kebaikan dan kedamaian.

Ulama Ushul membagi haram kedalam dua bagian:
1. Haram Li-Dzatihi
2. Haram Li-Ghoirihi

• Haram Li-Dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam karena esensinya mengandung kerusakan dan bahaya bagi kehidupan manusia, contoh berzina.
• Haram Li-Ghoirihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat bukan karena esensinya, namun karena membawa kepada esensi haram. Seperti jual beli pada saat adzan jum’at, bermain-main di tempat maksiat dll.

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terkadang susutu bisa haram karena esensinya memang diharamkan oleh agama dan terkadang sesuatu bisa diharamkan karena sesuatu tersebut dapat menyebabkan melakukan sesuatu yang diharamkan. Dalam kaidah fiqih disebutkan :
ما لا يتم الحرام إلا به فهو حرام
“Sesuatu yang diharamkan tidak bisa terjadi/sempurna terkecuali dengan suatu hal maka suatu hal tersebut hukumnya haram”

* Makruh

Makruh secara bahasa berarti “sesuatu yang dibenci”. Adapun secara istilah, makruh adalah: “Sesatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, bilamana ditinggalkan maka akan terpuji dan bila dikerjakan tidak berdosa”. Contoh: berkumur pada bulan ramadlan.

* Mubah

Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah: “sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.

2. Hukum Wadl’i

Hukum Wadl’i adalah: “Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau sebagai mani’ (penghalang)”. Dengan demikian hukum wadl’I terbagi menjadi 3 macam: Sebab, Syarat dan Mani’ (penghalang).

# Sebab

Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum. Jika ada sebab maka ada hukum dan jika tidak ada sebab maka tidak ada hukum.
Contoh: - Tergelincirnya matahari menjadi sebab datangnya waktu dluhur
- Anak menjadi sebab seseorang mendapat warisan orang tuanya
- Tindakan perzinaan menjadi sebab seseorang dihukum cambuk
- Gila menjadi sebab hartanya dipegang oleh walinya
- Jual beli menjadi sebab bagi perpindahan kepemilikan barang.
“Sebab”, dibagi menjadi 2 macam: Kadang tidak berada dalam jangkauan mukallaf, terkadang Berada dalam jangkauan mukallaf.

# Syarat

Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan berada diluar hakekat sesuatu itu.
Contoh: - Wudlu sebagai syarat sahnya sholat
- Si A berkata kepada si B: jika kamu membantu saya maka hutangmu lunas. Membantu di sini adalah sebagai syarat hutang si B lunas
- Menyarahkan ijazah sebagai syarat pendaftaran di pesma al-Hikam.
“Syarat”, dibagi menjadi 2 macam: Syarat Syar’I (Syarat yang ditetap-kan oleh syariat) dan Syarat Ja’li (Syarat yang ditetapkan oleh mukallaf)

# Mani’

Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Contoh: - Membunuh istri sebagai mani’ (penghalang) suami tidak mendapat warisan istri.
- Haidl sebagai mani’ (penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat
- Hutang sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat
- Tidak cakap berorganisasi sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak terpilih sebagai ketua BEM

“Mani’”, dibagi menjadi 2 macam: Mani’ Hukum Syara’ dan Mani’ Sebab.

4. Mahkum Fiih (Perbuatan Mukallaf)
Mahkum fiih berarti perbuatan orang mukallaf. Perbuatan tersebut merupakan obyek dari hukum fiqih.

Syarat perbuatan mukallaf adalah:
1. perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf. Misal: kuwajiban sholat subuh diketahui oleh mukallaf
2. Harus dalam batas kemampuannya.

5. Mahkum ‘Alaih (Orang Mukallaf)
Orang mukallaf berarti seseorang yang beragama Islam baligh dan berakal. Syarat kewajiban dalam melaksanakan hukum Allah adalah: Memahami hukum dan Mampu melakukannya.
Wallahu A’lam

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

FKM-MU BAKID ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO