Sabtu, 18 Desember 2010

Sejarah Dan Ajaran Abu Yazid al-Bustami Dan Syekh Abd Qadir al-jailani

Sejarah dan Ajaran Abu Yazid al-Bustami dan Syekh Abd Qadir al-jailani
oleh:
Fathur Rahman Al Aziz
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut sebagai sufi pertama yang membawa faham ittihad dalam arti seorang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, karena kesadarannya telah lebur bersatu dengan eksistensi Tuhan. Munculnya faham ini telah menimbulkan sikap dan pandangan pro-kontra di kalangan ulama.
Tulisan ini berupaya mengkaji ulang persoalan di atas dalam sudut pandang pemahaman dunia tasawuf. Dunia tasawuf adalah dunia rasa yang sarat dengan pengalaman spiritual yang seringkali berada di luar lingkungan rasional.
Di samping itu, dalam lembaran sejarah Islam, setiap abad kita akan menemukan tokoh besar yang mendapatkan status mujaddid. Ini sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan bahwa setiap 100 tahun, Allah akan mengirimkan pembaru di kalangan umat Islam.
Jika mujaddid Islam pada abad ke-11 M/5 H adalah Imam al-Ghazali dan mendapat julukan hujjatul Islam karena keberhasilannya menggabungkan syariat dan tarekat secara teoritis, mutiara sejarah abad ke-12 M/6 H diduduki oleh seorang ulama yang berhasil memadukan antara syariat dan sufisme secara praktis-aplikatif. Karena itu, ia mendapat julukan  quthubul auliya’ serta ghautsul a’dzam , orang suci terbesar dalam Islam. Dia adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Karenanya, dalam makalah ini, juga akan menjelaskan sedikit tentang sejarah Syekh Abdul Qadir al-Jailani serta ajaran-ajarannya.
semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi teman-teman,  atau bagi siapa saja yang kebetulan membaca tulisan dalam makalah ini, penulis hanyalah manusia yang lemah yang sangat jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis sangat berterima kasih apabila ada kritik, saran, atau apa saja yang berkaitan dengan makalah ini lebih-lebih kami mohon bimbingan dari dosen pembimbing mata kuliah ini,  yaitu beliau H. M. Yusuf Agung Subekti, Lc,., M. Si.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami. Ia lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 M/260 H. Dia menghembuskan nafas yang terakhir di Bustam, kota kelahirannya pada tahun 947 M.[1] Dalam fersi lain disebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 805 M dan wafat pada tahun 875 M.[2] Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster yang kemudian masuk islam. Keluarga Abu Yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi mereka lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayinya yang dalam kandungan akan memberontak sampai muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.[3]
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu surat dari al-Qur’an, surat Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggentarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang ke rumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.[4]
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar ilmu fikih madzhab Hanafi.[5] Karena itu, dia menjadi seorang  faqih dari  madzhab Hanafi.[6] Ia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang fana’ dari Abu Ali al-Sindi. Dia tidak meninggalkan tulisan, akan tetapi pengikut-pengikutnyalah yang mengumpulkan ucapan atau ajaran-ajarannya.[7]
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak pengikut yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan dengan manusia.[8].
B.     Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut sebagai sufi pertama yang membawa faham ittihad, dalam arti seorang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, karena kesadarannya telah lebur bersatu dengan eksistensi Tuhan. Munculnya faham ini telah menimbulkan sikap dan pandangan pro-kontra di kalangan ulama. Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan (al-ittihad), ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya melalui fana’. Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringi dengan baqa’. Sehingga Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus pencetus faham al-ittihad.[9]
1.      Fana’ dan Baqa’
Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata “faniya”, yang berarti musnah atau lenyap.[10] Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’ ‘an al-nafsi. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.[11] Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar mendefinisikannya, “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”.[12]
Jalan menuju fana’, menurut Abu Yazid sebagaimana dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah”.[13]
Adapun baqa’ berasal dari kata “baqiya”. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap.[14] Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti kehidupan abadi di dalam wujud Tuhan.[15] Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’ dalam arti bahwa adanya fana’ menunjukkan adanya baqa’, yakni, Kelengkapan dan kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi di dalam wujud Tuhan (baqa). Hal ini memang dilihat dari faham-faham sufi berikut :
- Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya.
- Siapa yang menghancurkan sifat-sifat yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik.
- Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan.[16]
2.      Al-Ittihad
Dilihat dari sudut etimologi, ittihad berarti persatuan. Dalam kamus sufisme, berarti perasatuan antara manusia dengan Tuhan.[17] Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar, yang dimaksud dengan ittihad ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.[18] Harun Nasution melanjutkan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan dicintai, atau tegasnya antara sufi dengan Tuhan.[19]
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Ittihad dalam ajaran tasawuf, kata Ibrahim Madkur sebagaimana dikutip oleh Shopie adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut dengan syatahat.[20]
Suatu ketika, seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “siapa yang engkau cari?” orang itu menjawab, “Abu Yazid.” Abu Yazid berkata, “pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi. Ucapan Abu Yazid tersebut kalau didengar secara sepintas akan memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah, di antara para sufi, ada yang ditangkap dan dipenjarakan disebabkan oleh ucapannya yang membingungkan.[21]
Sebagian besar umat Islam Indonesia pernah mendengar nama tokoh ini. Demikian pula para pengkaji tasawuf di barat dan timur yang sangat menaruh hormat kepadanya karena keberhasilannya membumikan tasawuf bagi masyarakat muslim hingga saat ini.
Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani.[22] Ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Zangi Dost Musa bin Abi Abdillah bin Yahya al-Zahid Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Musanna bin Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA. Menurut garis keturunan ini, ia termasuk cucu nabi Muhammad SAW.[23]
Syekh Abdul Qadir dilahirkan pada waktu fajar, Senin, 1 Ramadhan 470 H, bertepatan dengan tahun 1077 M di Desa desa Jilan,[24] yang disebut juga dengan Jailan, Kailan, Kilan, atau al-Jil, Kurdistan Selatan, terletak 150 kilometer sebelah timur laut Kota Baghdad, di selatan Laut Kaspia, Iran. dan wafat di Baghdad pada Sabtu, 11 Rabiuts-Tsani 561 H/1166 M.[25]
Abdul Qadir al-Jailani lahir dan dididik dalam lingkungan keluarga sufi. Ia tumbuh di bawah tempaan ibu (Fathimah binti Abdullah al-Sauma’i) dan kakeknya (Syekh Abdullah al-Sauma’i), yang kedua-duanya wali. Sejak kecil Abdul Qadir al-Jailani telah nampak berbeda dari anak-anak lainnya. Ia tidak suka bermain-main bersama anak lain. Sejak usia dini ia terus mematangkan kekuatan batin yang dimilikinya. Ia mulai belajar mengaji sejak berusia sepuluh tahun.[26]
Dalam usia delapan belas tahun ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu (488 H/1095 M). Karena tidak diterima belajar di madrasah Nizhamiyah yang pada waktu itu dipimpin seorang sufi besar, Ahmad al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani mengikuti pelajaran fikih madzhad hanbali dari Abu Sa’d Mubarak al-Mukharrimi (pemimpin sekolah hukum hanbali) sampai ia mendapat ijazah dari gurunya tersebut.[27]
Di samping itu, beliau juga berguru kepada guru-guru yang lain, di antara guru-guru Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam bidang tahfiz Alquran dan tafsir adalah Syekh Ali Abu al-Wafa al-Qail. Dalam bidang fikih, tercatat nama Syekh Abi al-Wafa’ Ali bin ‘Aqil (Ibn ‘Aqil), dan Syekh Abi al-Khaththab al-Kalwadzani Mahfudz bin Ahmad al-Jalil. Dalam bidang sastra dan bahasa Arab, ada nama Abi al-Husain Muhammad bin Al-Qadli Abi Ya’la.[28] Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
D.    Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Sebagaimana telah di singgung pada pendahuluan makalah ini, bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang ulama abad ke-6 H yang berhasil memadukan antara syariat dan sufisme secara praktis-aplikatif. Karena itu, ia mendapat julukan  quthubul auliya’ serta ghautsul a’dzam , orang suci terbesar dalam Islam. Atau dengan kata lain beliau adalah penerus Imam Ghozali yang mendapat julukan hujjatul Islam karena keberhasilannya menggabungkan syariat dan tarekat secara teoritis.[29]
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pelaku sufi yang mukhlis (ikhlas). Ia juga rutin mengamalkan wirid dan zikir. Hal itu telah dilakukannya sejak masa muda hingga namanya makin masyhur. Kegiatan wirid dan zikir biasa dilakukan setelah shalat sunah, baik pada siang hari maupun malam hari. Namun demikian, ia juga sering melakukannya setelah shalat fardhu.
Muhammad Sholikhin, pemerhati dan penulis buku tentang Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan tarekat di Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Republika mengatakan, shalat sunah yang biasa dikerjakan tokoh sufi ini setiap hari meliputi shalat tahajud (minimal 12 rakaat), shalat witir (3 rakaat), shalat fajar, shalat isyraq (setelah matahari terbit beberapa saat), shalat isti’adzah, shalat istikharah, shalat dhuha, shalat kaffarah li al-baul, dan shalat tasbih.
Sedangkan, zikir kesehariannya, kata dia, antara lain membaca Alquran paling sedikit 200 ayat, surah Al-Ikhlas 100 kali, shalawat 100 kali, sayyidul istighfar 100 kali, dan tahlil 100 kali. ”Kalau masih ada sisa waktu, digunakan untuk membaca Alquran serta menelaah kembali berbagai ilmu keislaman.[30]
BAB III
SIMPULAN
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami. Ia lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 M/260 H. Dia menghembuskan nafas yang terakhir di Bustam, kota kelahirannya pada tahun 947 M.
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut sebagai sufi pertama yang membawa faham ittihad. Namun sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan (al-ittihad), ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya melalui fana’. Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringi dengan baqa’. Sehingga Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus pencetus faham al-ittihad.
Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani. Syekh Abdul Qadir dilahirkan pada waktu fajar, Senin, 1 Ramadhan 470 H, bertepatan dengan tahun 1077 M di desa Jilan. Dalam usia delapan belas tahun ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu (488 H/1095 M). Karena tidak diterima belajar di madrasah Nizhamiyah yang pada waktu itu dipimpin seorang sufi besar, Ahmad al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani mengikuti pelajaran fikih madzhad hanbali dari Abu Sa’d Mubarak al-Mukharrimi (pemimpin sekolah hukum hanbali) sampai ia mendapat ijazah dari gurunya tersebut.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pelaku sufi yang mukhlis (ikhlas). Ia juga rutin mengamalkan wirid dan zikir. Hal itu telah dilakukannya sejak masa muda hingga namanya makin masyhur. Kegiatan wirid dan zikir biasa dilakukan setelah shalat sunah, baik pada siang hari maupun malam hari. Namun demikian, ia juga sering melakukannya setelah shalat fardhu. Muhammad Sholikhin, pemerhati dan penulis buku tentang Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan tarekat di Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Republika mengatakan, shalat sunah yang biasa dikerjakan tokoh sufi ini setiap hari meliputi shalat tahajud (minimal 12 rakaat), shalat witir (3 rakaat), shalat fajar, shalat isyraq (setelah matahari terbit beberapa saat), shalat isti’adzah, shalat istikharah, shalat dhuha, shalat kaffarah li al-baul, dan shalat tasbih.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon,  Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia,2009).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi, 1999).
Kisihandi, Ferry,  t. t., Bayazid Al-Bustami, Online (http://arsip.kotasantri.com/galeria.php?aksi=viewarticle&artid=185) diakses tgl. 05 Desember 2010.
Shopie, 2010, Kisah Syekh Abu Yazid al-Bustami. Online (http://teosufi.webs.com/apps/blog/show/3772323-kisah-syekh-abu-yazid-al-bisthami) diakses tgl. 05 Desember 2010.



[1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia,2009) hal. 152.
[2] Ferry Kisihandi, t. t., Bayazid Al-Bustami, Online (http://arsip.kotasantri.com/galeria.php?aksi=viewarticle&artid=185) diakses tgl. 05 Desember 2010.
[3] Rosihon Anwar, Loc. Cit.
[4] Ibid.

[5] Shopie, 2010, Kisah Syekh Abu Yazid al-Bustami. Online (http://teosufi.webs.com/apps/blog/show/3772323-kisah-syekh-abu-yazid-al-bisthami) diakses tgl. 05 Desember 2010.

[6] Rosihon Anwar, Loc. Cit.
[7] Shopie, Loc. Cit.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Rosihon Anwar, Op. Cit. hal. 153.
[11] Shopie, Loc. Cit.
[12] Rosihon Anwar, Loc. Cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Shopie, Loc. Cit.
[16] Ibid.
[17] Shopie, Loc. Cit.
[18] Rosihon Anwar, Op. Cit. hal. 155.
[19] Ibid.
[20] Shopie, Loc. Cit.
[21] Rosihon Anwar, Op. Cit. hal. 156-157.
[23] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi, 1999), hal. 17.
[24] Ibid.
[25] Republika,Loc. Cit.
[26] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit. hal. 18.
[27] Ibid.
[28] Republika,Loc. Cit.
[29] Ibid.
[30] Ibid.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

FKM-MU BAKID ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO