Sabtu, 18 Desember 2010

Batasan Darurat

Ditulis Oleh:
Fathur Rahman Al-Aziz

I. PENDAHULUAN

Ilmu Kaidah Fikih pada awalnya merupakan bagian dari ilmu Ushul Fiqih, namun pada akhirnya Ilmu Kaidah Fikih ini menjadi ilmu yang independent. Perkembangan ilmu ini sangat pesat sekali, seiring dengan bertambahnya permasalahan-permasalahan yang perlu dipecahkan yang menimbulkan kaidah fikih mengalami pengembangan. Namun dari sekian banyaknya kaidah fikih ini, ternyata tidak semuanya disepakati karena tidak semua kaidah bersumber dari al-Qur’an atau hadis akan tetapi ada juga yang bersumber dari ijtihad seseorang.
Di samping itu, ada juga kaidah yang merupakan cabang dari kaidah lain seperti yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف dan الضرر يدفع بقدر الإمكان yang Kedua kaidah ini merupakan cabang dari kaidah الضرر يزال. Mengenai arti yang lebih mendalam dari dua kaidah ini akan dijelaskan pada pembahasan dalam makalah ini.

Dalam makalah ini juga akan disertakan dengan penjelasan mengenai kaitan kedua kaidah ini dengan kaidah-kaidah yang lain, serta akan dicantumkan contoh masing-masing kaidah baik permasalahan yang klasik maupun permasalahan yang kontemporer.
semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi teman-teman,  atau bagi siapa saja yang kebetulan membaca tulisan dalam makalah ini, penulis hanyalah manusia yang lemah yang sangat jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis sangat berterima kasih apabila ada kritik, saran, atau apa saja yang berkaitan dengan makalah ini lebih-lebih kami mohon bimbingan dari dosen pembimbing mata kuliah ini,  yaitu beliau H. Zaenu Zuhdi Lc,. M. HI.
II. PEMBAHASAN
1.      الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
“kemudaratan yang lebih berat harus dihilangakan dengan yang lebih ringan”
 Kaidah ini didasarkan atas kaidah الضرر يزال  serta sebagai penjelas terhadap kaidah الضرر لا يزال بمثله dan sebagai takhsis terhadapnya.[1]
a)      Makna Kaidah
Menurut etimologi, kata ضرر berarti kekurangan yang terdapat pada sesuatu.[2] Batasan ضرر adalah keadaan yang membahayakan yang dialami manusia atau musyaqqat yang parah yang tak mungkin mampu dipikul olehnya.[3]
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kaidah ini didasarkan pada kaidah الضرر يزال  maka secara tidak langsung Kaidah ini diambil dari pemahaman sebuah hadis لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (رواه إبن ماجه).[4] Kemudian hadis ini sendiri menjadi sebuah kaidah fikih.[5]
Sebagaimana juga telah dipaparkan di atas bahwa kaidah ini ada kaitannya dengan kaidah الضرر لا يزال بمثله  bahkan sebagai penjelas dan takhsis, karena kaidah الضرر لا يزال بمثله  menjelaskan bahwa kemudaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang sama derajatnya apalagi dengan kemudaratan  yang lebih besar.[6] Kemudian konsep dari kaidah الضرر لا يزال بمثله  ini diperjelas serta ditakhsis oleh kaidah الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف sehingga timbul suatu pemahaman bahwa kemudaratan haruslah dihilangkan, apabila tidak mungkin dihilangkan dengan cara yang tidak mudarat maka harus menggunakan cara yang mudarat yang lebih ringan dari kemudaratan yang dihilangkan.
Dari ketiga kaidah ini dapat disimpulkan bahwa kemudaratan harus dihilangkan, namun tidak boleh dengan menggunakan cara yang mudarat juga kecuali dengan menggunakan kemudaratan yang lebih kecil dari kemudaratan  yang ingin dihilangkan.[7] Jadi ketika kemudaratan itu dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih berat maka secara nalar akal maupun syara’ tidak diperbolehkan, bahkan orang yang melakukan hal itu disebut orang yang bodoh serta tolol.[8]
Menurut sebagian ulama, kaidah الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف mempunyai arti yang sama dengan kaidahإذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكب أخفهما  sebab arti dari memelihara atau menjaga dalam kaidah yang kedua mempunyai arti menghilangkan  karena memelihara dari kerusakan berarti menghilangkan kerusakan tersebut. Namun menurut pendapat syaikh Ahmad al-Zarqa kaidah إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكب أخفهما tersebut lebih khusus dari kaidah الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف. Menurutnya dalam kaidah الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف dijelaskan bahwa kemudaratan yang lebih besar yang sudah terjadi itu kemudian dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih ringan, sedangkan dalam kaidah إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكب أخفهما salah satu dari bahaya itu tidak pernah terjadi.[9]
b)        Contoh aplikasinya
Pertama, ada seorang ibu hamil yang meninggal dunia dan diprediksi bayinya masih hidup maka berdasarkan kaidah ini boleh dioperasi karena kemudaratan yang berupa membiarkan bayi mati lebih besar dari pada mengoperasi si mayyit.[10]
Kedua, kemarin kita mendengar di televisi ada orang yang ditahan di penjara karena telah mencuri semangka, setelah ditanya orang yang mencuri tersebut adalah orang miskin yang sedang kelaparan maka permasalahan tersebut sebenarnya bisa dikaitkan dengan kaidah الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف karena mencuri dan mati adalah sebuah kemudaratan akan tetapi mencuri kemudaratannya lebih ringan dari pada mati.
2.      الضرر يدفع بقدر الإمكان
الضرر يدفع بقدر الإمكان
“kemudaratan harus dicegah sebisa mungkin”
a)        Makna kaidah
Kemudaratan harus dihilangkan secara keseluruhan, inilah yang dimaksud dari kaidah الضرر يزال . Apabila menghilangkan kemudaratan secara keseluruhan sulit dilakukan, maka diwajibkan untuk menghilangkannya sebisa mungkin, karena ini lebih baik dari pada membiarkan bahaya itu. Karena dengan adanya usaha itu, paling tidak bahaya itu dapat berkurang.[11]
Kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان juga berkaitan dengan kaidah الضرر يزال  karena kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان merupakan kaidah cabang dari kaidah الضرر يزال . sedangkan arti dari kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان adalah wajib hukumnya mencegah kemudaratan semampu mungkin sebelum kemudaratan itu terjadi. Hal ini lebih baik karena memelihara, menjaga atau mencegah lebih baik dari pada mengobati atau menghilangkan.[12] Kaidah ini sejalan dengan konsep al-Qur’an yang memberitakan bahwa pembebanan syari’at disesuaikan dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakannya. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah  ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (البقرة : 286)
b)         Contoh Aplikasinya
Pertama, apabila seorang wali anak yatim khawatir terhadap harta anak yatim akan diambil oleh orang yang dholim dan untuk mencegah kedhalimannya itu dengan menggunakan sebagian harta anak yatim, maka wali diperbolehkan untuk memberikan sebagian harta anak yatim tersebut untuk mencegah terjadinya kemudaratan.[13]
Kedua, pada akhir-akhir ini, bangsa indonesia sering kali ditimpa bencana alam, mulai dari tsunami, gunung meletus, banjir bandang, gempa bumi dan longsor. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Di antaranya karena manusianya yang sudah tidak menjaga kelestarian alam bahkan telah merusaknya sebagaimana diingatkan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم : 41)
            Juga mungkin di karenakan kurangnya ketakwaan kita kepada Allah serta semakin terkikisnya moral-moral islam. Maka penulis dengan berdasarkan kaidah ini mengajak para pembaca untuk senantiasa mencegah terjadinya bencana-bencana alam dengan menjaga kelestarian alam semampu kita serta menambah dan memupuk rasa ketakwaan kita terhadap Allah juga senantiasa memohon ampunan kepada-Nya atas kesalahan-kesalahan yang kita lakukan selama ini, karena Allah berfirman dalam surat al-Anfal ayat 33:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (الأنفال : 33)
Dalam ayat tersebut Allah menegaskan bahwa Allah tidak akan mendatangkan siksaan bagi orang-orang yang senantiasa memohon ampunan atas segala kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Wa Allah a’lamu bi al-shawab.
III. KESIMPULAN
Arti dari kaidah الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف adalah kemudaratan yang lebih berat harus dihilangkan dengan yang lebih ringan. Kaidah ini didasarkan kepada kaidah الضرر يزال  serta sebagai penjelas terhadap kaidah الضرر لا يزال بمثله dan sebagai takhsis terhadapnya.
Contoh aplikasi dari kaidah di atas adalah apabila ada seorang ibu hamil yang meninggal dunia dan diprediksi bayinya masih hidup, maka berdasarkan kaidah ini boleh dioperasi karena kemudaratan yang berupa membiarkan bayi mati lebih besar dari pada mengoperasi si mayyit.
Sedangkan arti dari kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان adalah kemudaratan harus dicegah sebisa mungkin. kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان juga berkaitan dengan kaidah الضرر يزال  yang mempunyai arti kemudaratan harus dihilangkan secara keseluruhan. Jadi apabila menghilangkan kemudaratan secara keseluruhan sulit dilakukan, maka diwajibkan untuk menghilangkannya sebisa mungkin, karena ini lebih baik dari pada membiarkan bahaya itu. Karena dengan adanya usaha itu, paling tidak bahaya itu dapat berkurang.
Contoh aplikasi dari kaidah yang kedua ini adalah apabila seorang wali anak yatim khawatir terhadap harta anak yatim akan diambil oleh orang yang dholim dan untuk mencegah kedhalimannya itu dengan menggunakan sebagian harta anak yatim, maka wali diperbolehkan untuk memberikan sebagian harta anak yatim tersebut untuk mencegah terjadinya kemudaratan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Burnu, Muhammad Shidqi, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1997).
al-Du’as, Izt Ubaid, al-Qawaid al-Fiqhiyah ma’ Syarh al-Mujaz, (Dimsyiq: Dar al-Tirmizdi, 1989).
al-Suyuthi, Abd Rahman, al-Asybah wa al-Nadza’ir, Jil. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001).
al-Zamakhsyari, Mahmud, al-Faiq fi Gharib al-Hadits, jil. II, cd software maktabah syamilah, (Lubnan: Dar al-Ma’rifah, t. t.)..
al-Zarqa, Ahmad, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Dimsyiq: Dar al-Qalam, 1996).
Ibn Majah, Abi Abdillah, Sunan Ibn Majah, jil. III, cd software maktabah syamilah, (Dar al-Fikr, t.t.).
Ismail, Muhammad Bakr, al-Qawaid al-Fiqiyah bain al-Ashalah wa al-Taujih, (Halyubulas: Dar al-Manar, 1997).
Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2005).
Zaidan, Abd Karim, al-Wajiz, (asli) terj. Muhyiddin Mas Rida, Lc, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008).

[1] Muhammad Bakr Ismail, al-Qawaid al-Fiqiyah bain al-Ashalah wa al-Taujih, (Halyubulas: Dar al-Manar, 1997), hal. 102.
[2] Mahmud al-Zamakhsyari, al-Faiq fi Gharib al-Hadits, jil. II, cd software maktabah syamilah, (Lubnan: Dar al-Ma’rifah, t. t.), hal. 213.
[3] Cd software maktabah syamilah, al-Ushul wa al-Qawa’id wa al-Dhawabith, (Mauqi’ Maktabah Shaid al-Fawa’id, t.t.), hal. 12.
[4] Abi Abdillah Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, jil. III, cd software maktabah syamilah, (Dar al-Fikr, t.t.), hal. 64.
[5] Ahmad al-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Dimsyiq: Dar al-Qalam, 1996), hal. 165.
[6] Ibid, hal. 195.
[7] Abd Rahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadza’ir, Jil. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), hal. 178.
[8] Muhammad Bakr Ismail, Loc. cit.
[9] Ahmad al-Zarqa, Op. cit., hal. 201.
[10] Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2005), hal. 235.
[11] Abd Karim Zaidan, al-Wajiz, (asli) terj. Muhyiddin Mas Rida, Lc, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008), hal. 120.
[12] Izt Ubaid al-Du’as, al-Qawaid al-Fiqhiyah ma’ Syarh al-Mujaz, (Dimsyiq: Dar al-Tirmizdi, 1989), Hal.31.
[13] Muhammad Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1997), Hal. 259.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

FKM-MU BAKID ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO