Tafsir Maudu'i
A. Pengertian
Menurut bahasa, mawdhu’i berarti yang diletakkan, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang didustakan, yang dibuat-buat dan yang dipalsukan.[1] Dari kata ini pula diambil istilah hadits maudhu’, hanya saja berbeda dalam pengambilan artinya. Mawdhu’i untuk tafsir mengambil arti “yang dibicarakan” yang bersinonim dengan judul, topik, atau sektor sedangkan mawdhu’ untuk hadits mengambil arti “yang didustakan” atau yang dibuat-buat/dipalsukan.
Menurut istilah, pengertian Tafsir Mawdhu’i, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abd. al-Hayy al-Farmawi adalah : Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum.[2]
Dengan demikian, Tafsir Mawdhu’i adalah tafsir yang membahas ayat-ayat al-Qur’an mengenai topik atau tema tertentu yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kronologis ayat yang dihimpunnya beserta asbab al-nuzul yang mengiringinya dan dijelaskan dengan rinci dan tuntas yang didukung oleh dalil dan fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang berasal dari al-Qur’an maupun dari hadits dan pemikiran rasional. Sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Melihat bentuknya, tafsir maudhu’i ini ada dua bentuk, yakni : Pertama, pembahasan mengenai suatu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang utuh dan cermat, sebagaimana ditempuh oleh Muhammad Syaltut dalam kitab tafsirnya. Kedua, adalah menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang membicarakan masalah tertentu dari berbagai surat Al-Quran dan kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadai pokok bahasannya.[3]
B. Karakteristik Tafsir Mawdhu’i.
Berdasarkan pada definisi yang dikemukakan diatas dan mengarah pada bentuk yang kedua dari metode ini, maka tafsir maudhu’i mempunyai karakteristik atau ciri khas sebagai berikut :
- Pembahasan dipayungi oleh tema sentral yang telah ditetapkan sebelumnya.
- Pembahasan didasarkan atas sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an.
- Pembahasan didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an secara kronologis masa turunnya, tidak berdasarkan urutan ayat dan surat yang tersusun dalam mushhaf.
C. Tata Kerja Metode Mawdhu’i
Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abd. al-Hayy al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar menerbitkan buku Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy dengan mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’iy. Langkah-langkah tersebut adalah:
- Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik/tema/ mawdhu’);
- Menghinpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
- Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
- Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
- Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line);
- Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
- Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkrompromikan antara yang am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya pertentangan, sehingga kesemunya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.[4]
D. Keistimewaan metode tafsir mawdhu’iy
Beberapa keistimewaan metode ini antara lain:
- Menghindari problem atau kelemahan metode lain;
- Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran;
- Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai kitab suci. Dan dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran.
- Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.[5]
E. Kelemahan metode tafsir maudhu’iy
Kekurangan metode ini antara lain :
1) Memenggal ayat al-Qur’an : Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
2) Membatasi pemahaman ayat : Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.[6]
F. Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir lainnya
a) Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir tahlily
Yang dimaksud dengan metode tahlily adalah “penjelasan tentang arti dan maksud Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan menjelasskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir itu”.
Metode tersebut jelas berbeda dengan metode mawdhu’iy, perbedaan tersebut antara lain:
1. Mufasir mawdhu’iy, dalam penafsirannya, tidak terikat dengan susunan ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian, sedang mufasir tahlily memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.
2. Mufasir mawdhu’iy tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.[7] Sementara para mufasir tahlily berusaha berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufasir mawdhu’iy, dalam pembahasannya, tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari sistematika perurutan, kecuali dalam batasan yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Mufasir tahlily berbuat sebaliknya.
3. Mufasir mawdhu’iy berusah untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya. Mufasir tahlily biasanya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.[8]
b) Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir ijmaly
1. Tafsir ijmaly berkaitan dengan penjelasan ayat secara global menurut tertib mush-haf, sedang tafsir mawdhu’iy menerangkan satu topik dari berbagai ayat.
2. Tafsi ijmali menerangkan ayat tidak sampai tuntas, apalagi menuntaskan kasus tertentu, sedang tafsir mawdhu’iy dapat menuntaskan kasus dari berbagai ayat tanpa menghiraukan tertib mush-haf .[9]
c) Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir maqarin
Yang dimaksud metode maqarin adalah “ menbandingkan ayata-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek pembahasan ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw., yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Mufasir yang menempuh metode ini tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional. Sementara dalam metode mawdhu’iy, mufasir, disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.[10]
Daftar pustaka
Farmawiy, ‘Abd Al-Hay Al-, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’iy, cetakan II, Kairo, Al-Hadharah Al-‘Arabiyyah, 1977.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
Muhaimin, Dr, kawasan dan wawasan studi islam, Jakarta: kencan, 2005.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, jakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressef, 1997.
Muhdlor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab- Indonesia. Yogyakarta:Multi Karya Grafika.
Nasir, M. Ridlwan, MA, Memahami Al-Qur’an, Surabaya: Indra Media, 2003.
[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressef, 1997. Edisi kedua. Hlm. 1564-1565.lihat juga. Atbik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab- Indonesia. Yogyakarta:Multi Karya Grafika. Hlm. 1863-1864.
[2] ‘Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu’iy, Al-Hadharah Al-‘Arabiyah, kairo, cetakan II, 1977, hlm. 61-62. Lihat juga: Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA, Memahami Al-Qur’an, (Surabaya: Indra Media, 2003), hlm 14-17
[3] Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992) cet. I. Hlm. 117
[4] ‘Abdul Hay Al-Farmawiy, op. cit, hlm. 62.
[5]Dr. M. Quraish Shihab, op. Cit., hlm. 117.
[6] Nashruddin Baidan, Metodologi Penfsiran Al-Quran, hlm. 165-168
[7] Ayat 90 surah al-Maidah, misalnya, yang berbicara tentang minuman keras, perjudian, dan berhala-berhala sesembahan, seluruhnya menjadi bahasan penafsir “tahlily”. Tetapi tafsir mawdhu’iy, hanya membahas pokok bahasannya saja. Jika pokok bahasan yang dipilihnya tentang “minuman keras”, maka ia tidak akan menyinggung persoalan judi dan berhala-berhala.
[8] Dr. M. Quraish Shihab, op. Cit., hlm. 117-118
[9] Prof. Dr. Muhaimin, Ma., et al., kawasan dan wawasan studi islam, kencana, jakarta, 2005, hlm. 118
[10] Dr. M. Quraish Shihab, op. Cit., hlm. 118-119.