Jumat, 17 Juni 2011

Tafsir Maudu'i


A.    Pengertian
Menurut bahasa, mawdhu’i berarti yang diletakkan, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang didustakan, yang dibuat-buat dan yang dipalsukan.[1] Dari kata ini pula diambil istilah hadits maudhu’, hanya saja berbeda dalam pengambilan artinya. Mawdhu’i untuk tafsir mengambil arti “yang dibicarakan” yang bersinonim dengan judul, topik, atau sektor sedangkan mawdhu’ untuk hadits mengambil arti “yang didustakan” atau yang dibuat-buat/dipalsukan.


Menurut istilah, pengertian Tafsir Mawdhu’i, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abd. al-Hayy al-Farmawi adalah : Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum.[2]
Dengan demikian, Tafsir Mawdhu’i adalah tafsir yang membahas ayat-ayat al-Qur’an mengenai topik atau tema tertentu yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kronologis ayat yang dihimpunnya beserta asbab al-nuzul yang mengiringinya dan dijelaskan dengan rinci dan tuntas yang didukung oleh dalil dan fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang berasal dari al-Qur’an maupun dari hadits dan pemikiran rasional. Sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
 
Melihat bentuknya, tafsir maudhu’i ini ada dua bentuk, yakni : Pertama, pembahasan mengenai suatu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang utuh dan cermat, sebagaimana ditempuh oleh Muhammad Syaltut dalam kitab tafsirnya. Kedua, adalah menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang membicarakan masalah tertentu dari berbagai surat Al-Quran dan kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadai pokok bahasannya.[3]
B.   Karakteristik Tafsir Mawdhu’i.
Berdasarkan pada definisi yang dikemukakan diatas dan mengarah pada bentuk yang kedua dari metode ini, maka tafsir maudhu’i mempunyai karakteristik atau ciri khas sebagai berikut :
  •   Pembahasan dipayungi oleh tema sentral yang telah ditetapkan sebelumnya.
  •  Pembahasan didasarkan atas sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an.
  •  Pembahasan didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an secara kronologis masa turunnya, tidak berdasarkan urutan ayat dan surat yang tersusun dalam mushhaf.
C.   Tata Kerja Metode Mawdhu’i

 Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abd. al-Hayy al-Farmawiy,  yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar menerbitkan buku Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy dengan mengemukakan secara rinci langkah-langkah  yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’iy. Langkah-langkah tersebut adalah:
  •    Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik/tema/ mawdhu’);
  •  Menghinpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
  • Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
  •  Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
  • Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line);
  • Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
  • Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkrompromikan antara yang am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya pertentangan, sehingga kesemunya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.[4]
D.    Keistimewaan metode tafsir mawdhu’iy

Beberapa keistimewaan metode ini antara lain:
  • Menghindari problem atau kelemahan metode lain;
  • Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran;
  • Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.  Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai kitab suci. Dan dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran.
  • Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.[5]

E.    Kelemahan metode tafsir maudhu’iy

Kekurangan metode ini antara lain :
1)    Memenggal ayat al-Qur’an : Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
2)    Membatasi pemahaman ayat : Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz  bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.[6]

F.    Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir lainnya

a)      Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir tahlily

Yang dimaksud dengan metode tahlily adalah “penjelasan tentang arti dan maksud Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan menjelasskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir itu”.

Metode tersebut jelas berbeda dengan metode mawdhu’iy, perbedaan tersebut antara lain:

1.  Mufasir mawdhu’iy, dalam penafsirannya, tidak terikat dengan susunan ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian, sedang mufasir tahlily  memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.
 
2.  Mufasir mawdhu’iy tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.[7] Sementara para mufasir tahlily  berusaha berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufasir mawdhu’iy, dalam pembahasannya, tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari sistematika perurutan, kecuali dalam batasan yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Mufasir tahlily berbuat sebaliknya.

3.  Mufasir mawdhu’iy berusah untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya. Mufasir tahlily biasanya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.[8]

b)      Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir ijmaly

1.  Tafsir ijmaly berkaitan dengan penjelasan ayat secara global menurut tertib mush-haf, sedang tafsir mawdhu’iy menerangkan satu topik dari berbagai ayat.

2.  Tafsi ijmali menerangkan ayat tidak sampai tuntas, apalagi menuntaskan kasus tertentu, sedang  tafsir mawdhu’iy dapat menuntaskan kasus dari berbagai ayat tanpa menghiraukan tertib mush-haf .[9]

c)      Perbedaan metode tafsir mawdhu’iy dengan metode tafsir maqarin

Yang dimaksud metode maqarin adalah “ menbandingkan ayata-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek pembahasan ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw., yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.

Mufasir yang menempuh metode ini tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional. Sementara dalam metode mawdhu’iy, mufasir, disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah  yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.[10]

Daftar pustaka

Farmawiy, ‘Abd Al-Hay Al-, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’iy, cetakan II, Kairo, Al-Hadharah Al-‘Arabiyyah, 1977.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.

Muhaimin,  Dr, kawasan dan wawasan studi islam, Jakarta: kencan, 2005.

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, jakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,     Surabaya: Pustaka Progressef, 1997.

Muhdlor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab- Indonesia. Yogyakarta:Multi Karya Grafika. 

Nasir, M. Ridlwan, MA, Memahami Al-Qur’an, Surabaya: Indra Media, 2003.



















[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressef, 1997. Edisi kedua. Hlm. 1564-1565.lihat juga. Atbik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab- Indonesia. Yogyakarta:Multi Karya Grafika. Hlm. 1863-1864.
[2] ‘Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu’iy, Al-Hadharah Al-‘Arabiyah, kairo, cetakan II, 1977, hlm. 61-62. Lihat juga: Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA, Memahami Al-Qur’an, (Surabaya: Indra Media, 2003), hlm 14-17

[3] Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992) cet. I. Hlm. 117
[4] ‘Abdul Hay Al-Farmawiy, op. cit, hlm. 62.
[5]Dr. M. Quraish Shihab, op. Cit., hlm. 117.
[6] Nashruddin Baidan, Metodologi Penfsiran Al-Quran, hlm. 165-168
[7] Ayat 90 surah al-Maidah, misalnya, yang berbicara tentang minuman keras, perjudian, dan berhala-berhala sesembahan, seluruhnya menjadi bahasan penafsir “tahlily”. Tetapi tafsir mawdhu’iy, hanya membahas pokok bahasannya saja. Jika pokok bahasan yang dipilihnya tentang “minuman keras”, maka ia tidak akan menyinggung persoalan judi dan berhala-berhala.
[8] Dr. M. Quraish Shihab, op. Cit., hlm. 117-118
[9] Prof. Dr. Muhaimin, Ma., et al., kawasan dan wawasan studi islam, kencana, jakarta, 2005, hlm. 118
[10] Dr. M. Quraish Shihab, op. Cit., hlm. 118-119.

Senin, 13 Juni 2011

Konsep Belajar Dan Yang Mempengaruhinya

A.    PENDAHULUAN
Belajar adalah istilah kunci yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sungguh tak pernah ada pendidikan. Selama ini, kita sudah sangat sering mendengar istilah belajar, namun ternyata masih banyak di kalangan kita yang salah menafsirkan istilah tersebut. Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/ materi pelajaran.
Oleh karena itu, kita sebagai orang yang sudah melakukan apa yang disebut dengan belajar, patutlah kita mengetahui arti dari belajar itu sendiri, agar supaya tidak terjadi kekeliruan dalam menafsiri arti belajar tersebut.

Di samping itu, sebagai calon pengajar, hal-hal yang dapat mempengaruhi belajar patutlah kita pelajari juga, karena hal tersebut dapat menunjang keberhasilan seseorang yang masih dalam tahap belajar. Berhasil atau tidaknya seorang siswa sangatlah bergantung kepada hal-hal tersebut.
Mengingat pentingnya hal yang telah disebutkan di atas, maka dalam makalah ini penulis akan berusaha mengungkap hakikat belajar juga akan mengungkap hal-hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar.
semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi teman-teman,  atau bagi siapa saja yang kebetulan membaca tulisan dalam makalah ini, penulis hanyalah manusia yang lemah yang sangat jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis sangat berterima kasih apabila ada kritik, saran, atau apa saja yang berkaitan dengan makalah ini lebih-lebih kami mohon bimbingan dari dosen pembimbing mata kuliah ini,  yaitu beliau Drs. H. Muzammil Zaini.
B. PEMBAHASAN
1. Konsep Belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia konsep mempunyai beberapa arti, yaitu, rancangan, ide, dan pengertian.[1] Kata konsep dari bahasa inggris “concept”, yang berarti bagan, rencana, gagasan, pandangan, cita-cita (yang telah ada dalam fikiran). Sedangkan menurut Ibrahim Madkur, kata konsep (Inggris: concept) dipadankan dengan istilah makna kulli (Arab), yang artinya pikiran (gagasan) yang bersifat umum, yang dapat menerima generalisasi.[2] Walaupun kata konsep ini mempunyai beberapa arti, dalam pembahasan ini, kita hanya akan memakai satu arti saja, yaitu yang mempunyai arti pengertian. Jadi, dalam pembahasan ini, kita hanya akan membahas pengertian belajar, atau dengan arti penulis tidak akan menjelaskan rancangan atau ide belajar.
Secara etimologi belajar mempunyai arti berusaha mengetahui sesuatu atau berusaha memperoleh ilmu pengetahuan.[3] Sedangkan secara terminologi, berbagai ahli berbeda pendapat tentang pengertian belajar tersebut. Dalam uraian berikut ini, akan dibahas mengenai beberapa perumusan menurut berbagai ahli, guna melengkapi dan memperluas pandangan kita tentang belajar.
Menurut Arthur T. Jerslid belajar adalah perubahan atau membawa akibat perubahan tingkah laku dalam pendidikan, karena pengalaman dan latihan atau karena mengalami latihan.[4] Sedangkan menurut Morgan, belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.[5] Witting mendefinisikan belajar sebagaimana Morgan yaitu perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/ keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.[6]
Kalau kita amati, tiga definisi yang dikemukakan oleh tiga ahli tersebut mempunyai pengertian yang sama, yaitu belajar adalah suatu perubahan tingkah laku karena sebuah pengalaman atau latihan. Menurut penulis definisi ini lebih mengarah kepada tujuan belajar bukan definisi dari belajar itu sendiri karena belajar merupakan sebuah proses bukan sebuah hasil atau tujuan.
Berbeda halnya dengan Arthur dan Morgan, Hilgard dan Marquis berpendapat bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri.[7] Seperti yang telah disebutkan sebelumnya oleh penulis bahwa belajar adalah sebuah proses bukan suatu hasil yaitu proses mencari sebuah pengetahuan melalui latihan, pengalaman, pembelajaran dan lain sebagainya dan tujuan dari belajar adalah sebuah perubahan sikap atau tingkah laku atau pola berfikir dan sebagainya dalam diri pelajar tersebut.
Sejalan dengan pendapat Hilgard dan Marquis, menurut Gage belajar adalah suatu proses di mana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Sedangkan Henry E. Garret berpendapat bahwa belajar merupakan proses yang berlangsung lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Kemudian Lester D. Crow mengemukakan belajar ialah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap-sikap.[8] Berpijak pada pendapat tiga ahli ini, ternyata setelah diamati pendapat Henry E. Garret agak sedikit berbeda, karena dalam pendefinisiannya tentang belajar dia mencantumkan kata lama padahal para ahli yang sefaham dengannya tidak.
James L. Mursell mengemukakan belajar adalah upaya yang dilakukan dengan mengalami  sendiri, menjelajahi, menelusuri, dan memperoleh sendiri.[9] Menurut hemat penulis definisi ini nampaknya mempunyai arti yang sempit karena belajar diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan diri sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Padahal kita tahu belajar disamping merupakan usaha diri sendiri juga membutuhkan peran orang lain, dalam hal ini adalah seorang pengajar atau yang biasa disebut dengan guru atau ustadz. Pemahaman penulis ini sejalan dengan pendapat Carl R. Rogers seorang ahli psiko terapi bahwa praktek pendidikan menitikberatkan pada segi pengajaran, bukan pada siswa yang belajar.[10]
Berbeda halnya dengan yang lain, Menurut pandangan B. F. Skinner belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif.[11] Pendapat ini sepertinya jauh dari pengertian tentang belajar karena maknanya sangat sempit sekali, menurut penulis pengertian ini lebih tepat kita gunakan sebagai pengertian belajar beradaptasi.
Sedangkan menurut Pandangan Carl Rogers adalah kebebasan dan kemerdekaan mengetahui apa yang baik dan yang buruk.[12] Menurut penulis pengertian ini juga nampaknya tidak sesuai dengan belajar itu sendiri. Menurut penulis pengertian ini lebih mengarah pada hak belajar.
Dari semua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahkan penulis setuju dengan pengertian belajar yang dikemukakan oleh Hilgard dan Marquis yang berpendapat bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar
            Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat kita bedakan menjadi tiga macam, yakni:  1) faktor internal; 2) faktor eksternal; 3) faktor pendekatan belajar.[13]
  1. Faktor Internal Siswa
Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yakni: 1) aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniyah); 2) aspek psikologis (yang bersifat rohaniyah).[14]
1). Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya, dapat menurunkan kualitas kognitif sehingga materi yang dipelajarinyapun kurang atau tidak berbekas.
Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dalam penglihatan siswa yang rendah, umpamanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item informasi. Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh sistem memori siswa tersebut.[15]
2). Aspek Psikologis
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun, di antara faktor-faktor rohaniyah siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut: a) tingkat kecerdasan/ intelegensi siswa; 2) sikap siswa; 3) bakat siswa; 4) minat siswa; 5) motivasi siswa.[16]
a). Intelegensi Siswa
Perkataan intelegensi berasal dari kata latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.[17] Intelegensi adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.[18] Menurut Muhibbin Syah, Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Jadi, intelegensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan intelegensi manusia lebih menonjol daripada peran organ-organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan “menara pengontrol” hampir seluruh aktivitas manusia.
Tingkat kecerdasan atau intelegensi siswa tak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah intelegensi seorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses.[19]
b). Sikap Siswa
Sikap, atau dalam bahasa inggris disebut attitude adalah suatu perbuatan atau tingkah laku sebagai reaksi terhadap suatu rangsangan. Bagaimana reaksi seseorang jika ia terkena suatu rangsangan baik berupa orang, benda maupun situasi yang sedang dihadapinya. Tiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap suatu perangsang, ini disebabkan oleh berbagai faktor yang ada pada individu seperti adanya perbedaan pada bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, dan situasi lingkungan.[20]
Menurut Muhibbin Syah, Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap siswa yang positif, terutama kepada guru dan mata pelajaran yang disajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap guru dan mata pelajaran, apalagi jika diiringi dengan kebencian, dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut.[21]
c). Bakat Siswa
Bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Dalam perkembangan selanjutnya, bakat kemudian diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Seorang siswa yang bakat dalam bidang elektro misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut dibanding siswa lainnya. Inilah yang kemudian disebut bakat khusus yang konon tak dapat dipelajari karena merupakan karunia inborn (pembawaan sejak lahir).[22]
d). Minat Siswa
Minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat seperti yang dipahami dan dipakai oleh orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang studi tertentu. Umpamanya, seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap matematika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.[23]
e). Motivasi Siswa
Motivasi adalah suatu usaha sadar untuk menggerakkan, mengarahkan, dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.[24] Dalam perkembangannya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi intrinsik; 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya untuk belajar.[25] Contohnya adalah seseorang yang bertekun mempelajari psikologi belajar misalnya, karena ia benar-benar tertarik dan ingin sekali menguasai pelajaran itu.
Adapun motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/ tata tertib sekolah, suri tauladan orang tua, guru, dan seterusnya merupakan contoh-contoh konkret motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar. Dalam perspektif psikologi kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan mencapai prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan juga  memberi pengaruh kuat dibandingkan dengan dorongan hadiah atau dorongan keharusan dari orang tua dan guru.[26]
  1. Faktor Eksternal
Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga tediri atas dua macam, yakni: faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial.[27]
1). Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas yang keseluruhannya itu dapat mempengaruhi belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan siswa.
Selanjutnya, yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan kumuh yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur, misalnya, akan sangat mempengaruhi aktifitas belajar siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang belum dimilikinya.[28]
2). Lingkungan Nonsosial
Faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu yang digunakan untuk belajar. Rumah yang sempit dan berantakan serta perkampungan yang terlalu padat misalnya, akan mendorong siswa untuk berkeliaran ke tempat-tempat yang sebenarnya tak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan perkampungan seperti itu, jelas akan mempengaruhi belajar siswa.
Khusus mengenai waktu yang disenangi untuk belajar seperti pagi atau sore hari, seorang ahli bernama J. Biggers berpendapat bahwa belajar pada pagi hari lebih efektif dari pada belajar pada waktu-waktu lainnya. Namun, menurut penelitian beberapa ahli learning style, hasil belajar itu tidak bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan waktu yang cocok dengan kesiapan siswa. Di antara siswa ada yang siap belajar pagi hari, ada pula yang siap belajar pada sore hari, bahkan tengah malam.[29]
  1. Faktor Pendekatan Belajar
Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu. Banyak pendekatan belajar yang dapat dipergunakan untuk mempelajari studi yang sedang ditekuni. Di antara pendekatan-pendekatan belajar yang dipandang mewakili yang klasik dan modern itu ialah: 1) pendekatan hokum Jost; 2) pendekatan Ballar & Clanchy; dan 3) pendekatan Biggs.
1). Pendekatan Hukum Jost
Menurut Reber, salah satu asumsi penting yang mendasari Hukum Jost  adalah siswa yang lebih sering mempraktikkan materi pelajaran akan lebih mudah memanggil kembali memori lama yang berhubungan dengan materi yang sedang ia tekuni. Selanjutnya, berdasarkan Hukum Jost itu maka belajar misalnya dengan kiat 2 x 4 adalah lebih baik dari pada 4 x 2 walaupun hasil perkalian kedua kiat tersebut sama. Maksudnya, mempelajari sebuah materi khususnya yang panjang dan kompleks dengan alokasi waktu 2 jam per hari selama 4 hari akan lebih efektif daripada mempelajari materi tersebut dengan alokasi waktu 4 jam sehari tetapi hanya selama 2 hari. Perumpamaan dengan cara mencicil seperti contoh di atas hingga kini masih dipandang lebih berhasil terutama untuk materi-materi yang bersifat hafalan.
2). Pendekatan Ballard & Clanchy
Menurut Ballard & Clanchy, pendekatan belajar siswa pada umumnya dipengaruhi oleh sikap terhadap ilmu pengetahuan. Ada dua macam siswa dalam menyikapi ilmu pengetahuan, yaitu: 1) sikap melestarikan apa yang sudah ada; 2) sikap memperluas.
Siswa yang bersikap melestarikan yang sudah ada, pada umumnya menggunakan pendekatan belajar “reproduktif” (bersifat menghasilkan kembali fakta dan informasi). Sementara itu, siswa yang bersikap memperluas, biasanya menggunakan pendekatan belajar “analitis” (berdasarkan pemilahan dan interpretasi fakta dan informasi). Bahkan di antara mereka cukup banyak yang menggunakan pendekatan belajar yang lebih ideal yaitu pendekatan spekulatif (berdasarkan pemikiran mendalam), yang bukan saja bertujuan menyerap pengetahuan melainkan juga mengembangkannya.
3). Pendekatan Biggs
Menurut penelitian Biggs, pendekatan belajar siswa dapat dikelompokkan tiga bentuk besar, yakni: 1) pendekatan surface (permukaan / bersifat lahiriah); 2) pendekatan deep (mendalam); 3) pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi).
Siswa yang menggunakan pendekatan surface misalnya, mau belajar karena dorongan dari luar antara lain takut tidak lulus yang mengakibatkan dia malu. Oleh karena itu, gaya belajarnya santai, asal hafal, dan tidak mementingkan pemahaman yang mendalam.
Sebaliknya, siswa yang menggunakan deep biasanya mempelajari materi karena memang dia tertarik dan merasa membutuhkannya. Oleh karena itu, gaya belajarnya serius dan berusaha memahami materi secara mendalam serta memikirkan cara mengaplikasikannya. Bagi siswa ini, lulus dengan nilai baik adalah penting, tetapi yang lebih penting adalah memiliki pengetahuan yang cukup banyak dan bermanfaat bagi kehidupannya.
Sementara itu, siswa yang menggunakan pendekatan achieving pada umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik yang berciri khusus yang disebut ego-enchancement yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi-tingginya. Gaya belajar siswa ini lebih serius dari pada siswa-siswa yang memakai pendekatan-pendekatan lainnya. Dia memiliki keterampilan belajar dalam arti sangat cerdik dan efisiean dalam mengatur waktu, ruang kerja dan penelaahan isi silabus. Baginya, berkompetisi dengan teman-teman dalam meraih nilai tertinggi adalah penting, sehingga ia sangat disiplin, rapi dan sistematis serta berencana untuk terus maju ke depan.
Di samping faktor-faktor internal dan eksternal siswa sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses belajar siswa tersebut. Seorang siswa yang sudah terbiasa mengaplikasikan pendekatan belajar deep misalnya, mungkin sekali berpeluang untuk meraih prestasi belajar yang bermutu daripada siswa yang menggunakan pendekatan belajar surface atau reproductife.[30]


[1] Tim Penyusun kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pusat Bahasa, 2008), hal. 802.
[2] Miftah, 2010, Konsep Belajar Dalam Islam Dan Umum. Online (http://munzaro.blogspot.com/2011/03/konsep-belajar-dalam-islam-dan-umum.html) diakses tgl. 08 Juni 2011.
[3] Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, Op. Cit., hal. 42.
[4] Syaiful Sagala, 2006, Konsep Dan Makna Pembelajaran, Bandung: CV Alfabeta, hal. 12.
[5] Ibid, hal. 13.
[6] Muhibbin Syah, 2005, Psikologi pendidikan Dengan Pendekatan  Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 90.
[7]Syaiful Sagala, op.cit.
[8] Ibid.
[9]Ibid.
[10] Ibid, hal. 29.
[11] Ibid, hal.18.
[12] Ibid, hal.33.
[13] Muhibbin Syah, M.Ed., Psikologi Belajar, Ed. Revisi,-9., (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hal. 145.
[14] Ibid., hal. 146.
[15] Ibid., hal. 146-147.
[16] Ibid., hal. 148.
[17] Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta : PT RINEKA CIPTA, 2009), hal. 89.
[18] M. Ngalim Purwanto,  Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2004), hal. 52.
[19] Muhibbin Syah, Op. Cit., hal. 148-149.
[20] Ngalim Purwanto, Op. Cit., hal. 141-142.
[21] Muhibbin Syah, Op. Cit.,hal. 150.
[22] Ibid., hal. 151.
[23] Ibid., hal. 152.
[24] Ngalim Purwanto, Op. Cit., hal. 73.
[25] Muhibbin Syah, Op. Cit., hal. 153.
[26] Ibid., hal. 153.
[27] Ibid., hal. 154.
[28] Ibid.
[29] Ibid., hal. 155-156.
[30] Ibid., 136-139.

FKM-MU BAKID ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO